
SANG MAESTRO
PERANG GERILYA DI TANAH JAWA
RADEN MAS SAHID-PANGERAN PRANGWADANA- PANGERAN
SAMBERNYAWA-KGPA MANGKUNEGORO 1
PENDIRI KADIPATEN PURA MANGKUNEGARAN
DI SURAKARTA HADININGRAT
PENDAHULUAN
Kita patut dan
harus meneladani perjuangan Pangeran Sambernyawa yang masa kecilnya bernama RM
Said dalam usahanya menegakkan kedaulatan tanah jawa diatas bangsa jawa
sendiri. Saya katakan jawa bukan Indonesia atau Nusantara karena perjuangan
Pangeran Sambernyawa masih sebatas di pulau jawa khususnya jawa tengah dan Jawa
Timur.
Mengenang perjuangan Pangeran
Sambernyawa tidak akan lepas dari masa kecil beliau dimana masa kecilnya penuh
penderitaan dan kesengsaraan karena kebiadaban kompeni Belanda dan patih
Danurejo dari kasunan Surakarta. Orang tuanya Arya Mangkunegoro (Putera
Mahkota ) yang
sebenarnya lebih berhak menggantikan raja di Kasunan Kartasuro di fitnah patih Danurejo dan ditangkap
kemudian diasingkan atau bahasa jawanya di
“kendangkan” ke Pulau Syailand. Sampai pada wafatnya dengan meninggalkan
istri dan 3
orang anak yaitu RM Said, RM Ambiya dan
RM Sabar.
Disini akan dibahas mengenai
perjuangan P Sambernyawa dengan 40 Punggawa Bakunya (jw Pendherek) dari masa
kecil berumur 2 tahun sampai pendirian Puro Mangkunegaran. Tempat-tempat yang
pernah disinggahi dan menjadi daerah perjuangannya yang tersebar di eks karesidenan
Surakarta. Solo,Wonogiri,Sukoharjo,Sragen,Klaten Boyolali, yang dulu sebagian
dikenal dengan nama Tanah Sukowati.
Kita akan mengupas tentang latar belakang
timbulnya pemberontakan RM Sahid yang terkenal dengan gelarnya Pangeran
Sambernyawa sebagai pendiri dinasti Mangkunegaran di wilayah Surakarta
Hadiningrat atau Solo.
Semoga buku ini berguna bagi yang
membutuhkannya dan bisa menjadi pedoman bagi yang ingin mengetahui sejarah
Mangkunegaran.
BAB 1
SEJARAH SINGKAT KERATON MATARAM ISLAM
Agar kita mengerti tentang sejarah dan
nilai bagi perjuangan
P. Sambernyawa, sebaiknya kita menengok
dulu sejarah berdirinya VOC (Verenigde Oost Indische
Compagnie )
dan system politik yang dianutnya. VOC dalam bahasa Indonesia berarti
Perserikatan Dagang Bangsa Belanda. VOC berdiri pada tanggal 20 Maret
1602 dengan Gubernur Jendral pertamanya Pieter Bot.
Fase
kurun waktu VOC berkuasa dan bercokol di Indonesia (Nusantara) dapat dibagi
menjadi beberapa tingkatan, yaitu :
1.
Jaman Sunan Amangkurat I
di Mataram tahun 1645 – 1677 M.
2.
Jaman Trunojoyo atau
jaman dimana Trunojoyo melakukan pemberontakan tahun 1676 – 1681 M.
3.
Jaman Amangkurat II VOC
menerapkan politik adu domba atau memecah belah antara penguasa satu dengan
lainnya atau tokoh satu dengan lainnya, sehingga mereka dapat dikuasai dan
dihancurkan sedikit demi sedikit. Terjadi kurun waktu tahun 1681 -1703 M.
4.
Zaman Amangkurat III
terjadi perebutan Mahkota Mataram I tahun 1704 – 1708 antara Pangeran Puger
dengan Amangkurat III. Perang rebutan Keraton Mataram Islam clas atau periode ke II tahun 1719
– 1723 M.
5. Jaman Sunan Pakubuwono II tahun 1755 – 1757 M, dengan pembagian keraton
menjadi 4 bagian, Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat dengan Kadipaten Paku
Alaman dan Kasunan Surakarta Hadiningrat dengan Kadipaten Mangkunegaran.
Karena beberapa masalah
VOC mengalami kemunduran dan bangkrut, sehingga kekuasaan VOC di Hindia Belanda
(Indonesia) diambil alih pemerintahan Belanda dan VOC resmi dibubarkan 31
Desember 1799.
Karena banyaknya campur tangan pihak
Belanda ke keraton Mataram Islam menyebabkan terjadi banyak kekacauan dan
perselisihan antar bangsawan di keraton. Puncaknya Sultan Agung hanyakrakusumo
wafat tahun 1645 dengan masa pemerintahan dari tahun 1613 -1645. Masa
pemerintahannya banyak terjadi peperangan melawan kompeni Belanda sampai Sultan
wafat. Gelar belaiau sebagai penguasa Mataram Islam adalah Sultan Abdullah
Muhammad Maulana Mataram. Dengan wafatnya Sultan Agung maka praktis tidak ada
Sultansebagai raja atau pengusa Mataram Islam yang kuat,para penggantinya
sangat lemah atau tunduk terhadap Kompeni Belanda, sehingga memancing banyak
pemberontakan dari keluarga raja dan para bangsawan Mataram. Pemberontakan silih
berganti melanda Mataram Islam sehingga membuat ringkih pemerintahan dan makin
lama daerah kekuasaan Mataram Islam berkurang banyak karena untuk membayar
kerugian perang pihak VOC dan daerah terpecah menjadi 4 wilayah kekuasaan. Pemberontakan - pemberontakan paling besar dimulai setelah Sultan Agung Hanyakrokusumo wafat dan digantikan putranya Amangkurat I,
yaitu :
A.
Zaman
Amangkurat I
Pemerintahannya yang
berlangsung tahun 1645 – 1676 banyak diwarnai dengan pembunuhan yang kejam
terhadap keluarga keraton. Sehingga menimbulkan pemberontakan dari dalam istana
sendiri maupun dari luar istana, yaitu :
Pemberontakan
Pangeran Trunojoyo seorang bangsawan dari Madura yang terjadi pada tahun 1674. Pembrontakan ini sendiri didukung oleh para Ulama dan
bangsawan keraton Mataram dan putera mahkota keraton Mataram walaupun akhirnya
putra mahkota ini berkhianat dan berbalik mendukung ayahnya Amangkurat I.
Amangkurat I juga memindahkan ibukota dari plered ke kerta.
Amangkurat I juga memindahkan ibukota dari plered ke Kerta. Disaat itu Pangeran Puger yang Nama aslinya Raden Mas Drajat, lahir dari permaisuri keturunan Keluarga Kajoran. Karena tejadi pemberontakan Trunojoyo memaksa Amangkurat I melarikan diri sampai Tegalwangi, dimana kemudian Amangkurat I meninggal disana ( menurut beberapa sumber diracun putera mahkota), sehingga dia juga dikenal sebagai Sultan Tegalwangi atau Sultan Tegalarum. Karena menganggap Putera Mahkota telah pergi ke Mekah sesuai dengan rencana awal. Maka Raden Mas Drajat (Pangeran Puger), merajakan dirinya menjadi Sultan Kabanaran di Jenar. Tetapi ternyata Putera Mahkota tidak jadi pergi ke Mekah. Ketika terjadi serbuan Trunojoyo tahun 1677, Adipati Anom menolak ditugasi ayahnya mempertahankan Plered, ibu kota Mataram, dan memilih ikut mengungsi ke barat. Pangeran Puger tampil melaksanakan tugas itu sebagai bukti kalau tidak semua keturunan Kajoran mendukung Trunojoyo.
Amangkurat I juga memindahkan ibukota dari plered ke Kerta. Disaat itu Pangeran Puger yang Nama aslinya Raden Mas Drajat, lahir dari permaisuri keturunan Keluarga Kajoran. Karena tejadi pemberontakan Trunojoyo memaksa Amangkurat I melarikan diri sampai Tegalwangi, dimana kemudian Amangkurat I meninggal disana ( menurut beberapa sumber diracun putera mahkota), sehingga dia juga dikenal sebagai Sultan Tegalwangi atau Sultan Tegalarum. Karena menganggap Putera Mahkota telah pergi ke Mekah sesuai dengan rencana awal. Maka Raden Mas Drajat (Pangeran Puger), merajakan dirinya menjadi Sultan Kabanaran di Jenar. Tetapi ternyata Putera Mahkota tidak jadi pergi ke Mekah. Ketika terjadi serbuan Trunojoyo tahun 1677, Adipati Anom menolak ditugasi ayahnya mempertahankan Plered, ibu kota Mataram, dan memilih ikut mengungsi ke barat. Pangeran Puger tampil melaksanakan tugas itu sebagai bukti kalau tidak semua keturunan Kajoran mendukung Trunojoyo.
Pangeran
Puger kemudian mendirikan Kerajaan Purwakanda berpusat di Jenar. Ia mengangkat
diri sebagai raja bergelar Susuhunan Ingalaga. Setelah Trunojoyo kembali ke
markasnya di Kediri, Sunan Ingalaga segera merebut Plered dan mengusir anak
buah Trunojoyo yang ditempatkan di kota itu. Amangkurat I meninggal dalam pengungsian. Adipati Anom
menjadi raja tanpa takhta bergelar Amangkurat II. Dengan bantuan VOC, pasukan
Amangkurat II berhasil menumpas Trunojoyo akhir tahun 1679.
B.
Zaman
Amangkurat II
Amangkurat
II menggantikan ayahnya sebagai Sultan Mataram Islam setelah Amangkurat I
meninggal dunia di Tegal Arum dekat kota Tegal saat ini. Sehingga juga diberi
gelar Sultan Tegal Arum. Amangkurat II disebut juga Sunan Amral
karena beliau sultan pertama yang
memakai pakaian perwira belanda, Admiral. Bertahta menggantikan ayahnya dari tahun 1677 sampai 1703. Ia sangat tunduk dan takluk ke pada VOC.
Bahkan mengadakan kesepakatan dengan pihak VOC karena telah membantu membunuh
Trunajaya dan sebagai kompesansinya atas bantuan VOC Amangkurat II menyerahkan
Semarang dan Mataram harus mengganti biaya akibat perang. Akibat
perang dengan Trunajaya keraton Mataram di Pleret rusak parah sehingga harus
dipindahkan ke Kartasura pada tahun 1681.
C.
Zaman
Amangkurat III
Amangkurat
II wafat tahun 1703 setelah sebelumnya karena kesulitan keuangaannya berusaha
membantu Surapati Adipati Bangil melawan VOC. Ia digantikan putranya Sunan Mas
yang kemudian bergelar Amangkurat III. Amangkurat III sangat tidak suka kepada
pihak VOC yang dianggap terlalu banyak mengurusi persoalan dalam negeri Mataram
Islam. Sehingga Amangkurat III berani menentangnya.
Karena
rasa permusuhan yang ditujukan Amangkurat III kepada VOC, maka VOC tidak
menyukainya dan mengangkat Pangeran Puger yang sebelumnya sempat berselisih
dengan Amangkurat II sebagai Sultan Mataram yang baru dengan gelar Sultan Paku
Buwono I dan penobatannya sebagai sultan yang baru dilakukan di Semarang.
D.
Zaman
Paku Buwono I
Dengan
Pengangkatan dan penobatan Pangeran Puger oleh VOC sebagai sultan baru telah
memicu permusuhan antara Amangkurat III dengan Pangeran Puger atau Sunan Paku
Buwono I yang merupakan paman Amangkurat III
sendiri. Maka perang perebutan Mahkota I (1704 – 1708) telah terjadi. Yang
ankhirnya Amangkurat III kalah dan menyerah ke VOC dan dibuang ke Syailand atau
Srilangka oleh VOC. Dengan berakhirnya perang perebutan Mahkota I maka pihak
Sunan Paku Buwono I
harus menyerahkan daerah Priangan, Cirebon dan Madura bagian Timur ke VOC
sebagai ganti biaya perang dan bantuan VOC ke pihak Sunan Paku Buwono I.
Sehingga daerah Mataram Islam mulai berkurang lagi di caplok VOC.
E.
Zaman
Amangkurat IV
Paku
Buwana I wafat tahun 1719 dan digantikan putranya Amangkurat IV yang bergelar
Sri Susuhunan Prabu Amangkurat Jawa atau
Sunan Prabu tahun 1719 – 1727. Masa ini terjadi lagi perang perebutan Mahkota
Mataram Islam ke II. Dalam perebutan Mahkota ke II VOC berpihak ke Sunan Prabu
sehingga para pemberontak dapat dikalahkan dan kebanyakan dibuang ke Srilangka
atau pulau Syailand dan Afrika Selatan. Para pemberontak antara lain Pangeran
Purbaya dan Pangeran Blitar yang masih pamannya sendiri. Arya Jayapuspita adik
Adipati Jayangrana dari Surabaya.
Amangkurat
IV atau Sunan Prabu ini merupakan
leluhur para raja-raja di Surakarta Hadiningrat dan Ngayokyakarta Hadiningrat. Beliau
yang menurunkan raja-raja penerus Mataram Islam di kedua kerajaan itu.
Amangkurat
IV nama aslinya adalah Raden Mas Suryaputra, putra dari Pakubuwana I yang
lahir dari permaisuri Ratu Mas Blitar (keturunan Pangeran Juminah, putra Panembahan
Senopati dengan Retno Dumilah putri Madiun).
Amangkurat IV memiliki beberapa orang putra yang di antaranya menjadi tokoh-tokoh penting, misalnya, dari :
Amangkurat IV memiliki beberapa orang putra yang di antaranya menjadi tokoh-tokoh penting, misalnya, dari :
1.
permaisuri
lahir Pakubuwana II pendiri keraton
Surakarta,
2. selir
Mas Ayu Tejawati lahir Hamengkubuwana
I raja pertama Yogyakarta,
3. selir
Mas Ayu Karoh lahir Arya Mangkunegara, ayah dari Mangkunegara
I. Tetapi dari ketiga putra ini Arya Mangkunegara yang tertua
usianya maupun urutan garis keluarga karena selir Mas
Ayu Karoh merupakan selir pertama.
Karena fitnah patih Danurejo dan VOC maka Arya Mangkunegara
ditangkap dan dibuang ke Srilangka sampai pada wafatnya. Sehingga beliau
dikenal juga sebagai Pangeran Kendang (Jw
: Kendang sama dengan dibuang).
F.
Zaman
Amangkurat V
(1742 s/d 1743)
Mengangkat
dirinya sebagai raja yang mendapat dukungan dari orang-orang Tionghoa, hal ini
disebabkan karena sikap plin-plan yang mendua dari Paku Buwono II, disatu sisi
anti VOC namun disisi lain patuh pada perintah VOC dengan menangkap patihnya
sendiri Pangeran Notokusumo untuk diserahkan ke VOC kemudian dibuang ke
Sri Langka. Hal ini terjadi sebagai akibat perintah Paku Buwono II untuk
membantu secara diam-diam pemberontakan orang Tiong Hoa di Semarang yang
dipimpin oleh Tai Wan Sui. Nama sebenarnya adalah Raden
Mas Garendi dengan sebutan sebagai Sunan Kuning, merupakan cucu
Amangkurat III. Berhasil mengusir raja Paku Buwono II
dari keraton Kartosuro hingga lari ke Ponorogo, dalam mengisi kekosongan raja
di Mataram maka Raden Mas Garendi dinobatkan sebagai Amangkurat V. Namun
akhirnya Paku Buwono II, dengan meminta bantuan VOC dapat kembali berkuasa, dengan
dalih ini VOC dapat memperluas kekuasaannya hampir seluruh wilayah Jawa.
Dengan
pasukan yang cukup besar Paku Buwono II dibantu oleh VOC dan Madura (
Bupati Cakraningrat ),
melawan pasukan Amangkurat V dengan dukungan orang-orang Tionghoa dapat
dikalahkan dan kemudian beliau ditangkap dan dibuang ke Sri Langka
(Cyelon).
G.
Zaman
Paku Buwono II
Amangkurat V di ganti putra Amangkurat IV yang baru
berusia 15 tahun bergelar Pakubuwono II sebagai raja Kartasura.
Dari
sinilah awal mulanya terjadi pemberontakan yang besar di kerajaan Surakarta
sebagai penerus Mataram Islam sehingga terpecah menjadi empat wilayah atau
empat pusat pemerintahan.
1.Kasunan Surakarta dengan rajanya bergelar Sunan Paku Buwono
II dan seterusnya,
2.Ngayokyakarta Hadiningrat dengan rajanya Hamengkubuwono I dan
seterusnya,
3.Praja Pakualaman dengan penguasanya bergelar Adipati Pakualam
I dan seterusnya,
4.Kadipaten Mangkunegaran dengan Adipatinya Mangkunegoro I dan
seterusnya.
Ke
empat kerajaan itu yang benar-benar merdeka tidak ada campur tangan dari pihak
Belanda (VOC) hanya satu yaitu Kadipaten Mangkunegaran. Sesuai dengan
perjanjian Salatiga pada tanggal 17
Maret 1757 antara P.Sambernyawa dengan pihak VOC. Isinya P Sambernyawa berhak
atas wilayah Kedawung,
Matesih, Nglaroh, Wiroko, Hariboyo, Honggobayan, Sembunyan, Gunung Kidul,
Pajang Utara, Pajang Selatan dan Kedu. Juga berhak menggunakan gelar Adipati
Miji ( Mandiri ) dengan gelar KGPAA Mangkunegara
I yang kedudukannya sejajar dengan Sultan Yokyakarta dan Sunan Surakarta.
Dari
hasil perjanjian tersebut juga mewajibkan Kompeni membayar semacam pajak kepada
Mangkunagaran sebesar 4000 real per tahun. Ini merupakan hasil negosiasi yang
hebat.
Dari
sini penulisan buku ini akan saya mulai
yaitu dengan kelahiran R.M Said sebagai putra Arya Mangkunegara cucu Sunan
Amangkurat IV dengan garwa selir Mas Ayu Karoh. Dimasa tuanya namanya diganti
dengan RA Sumarsana yang dimakamkan tempat kelahirannya di ngledok Selogiri,
Wonogiri. Perjuangan beliau selama 16 tahun sampai pendirian pura Mangkunegaran.
Tentang daerah yang pernah disinggahinya selama dalam perangnya yang tersebar
diseluruh daerah jawa. Khususnya nanti daerah Wonogiri sebagai pusat pergerakan
R.M Sahid.
BAB II
AWAL PERJUANGAN R.M SAHID
Pangeran Sambernyawa itu nama
kecilnya R.M Sahid, putera Pangeran Mangkunegara Kendang. Ibunya bernama R. Ay. Wulan, puteri Pangeran Blitar. RM Said
dilahirkan di istana Kartasura pada hari Minggu tanggal 4 Ruwah tahun Jimakir,
bertepatan dengan 8 April 1725. Nama
Sahid itu pemberian dari neneknda Amangkurat IV, beberapa waktu sebelum wafat.
Maksud pemberian nama Sahid itu ialah bahwa Sri Sunan masih menyaksikan
lahirnya cucunda yang terakhir dalam masa hidupnya.
Pangeran Mangkunegara Kendang itu putera Sinuwun Amangkurat IV di Kartasura yang sulung. Beliau ini saudara sepupu R.Ay. wulan, Beliau dilahirkan dari seorang garwa selir Amangkurat IV bernama R. Ay. Sumanarsa atau R. Ay Kulo/R.Ay Karoh yang disebut R. Ay Sepuh, berasal dari desa Keblokan, tanah lor ( Wonogiri ). Di dalam lingkungan Keraton Kartasura beliau disebut Pangeran Mangkunagara Kendang, oleh karena beliau dikendangkan yaitu diasingkan atau dibuang ke Kaapstad, Afrika Selatan, sampai wafatnya, kemudian jenazahnya dimakamkan di Astana Imogiri, Yogyakarta. Pengasingan ini terjadi pada masa Pakubuwono II.
Pangeran Mangkunegara Kendang itu putera Sinuwun Amangkurat IV di Kartasura yang sulung. Beliau ini saudara sepupu R.Ay. wulan, Beliau dilahirkan dari seorang garwa selir Amangkurat IV bernama R. Ay. Sumanarsa atau R. Ay Kulo/R.Ay Karoh yang disebut R. Ay Sepuh, berasal dari desa Keblokan, tanah lor ( Wonogiri ). Di dalam lingkungan Keraton Kartasura beliau disebut Pangeran Mangkunagara Kendang, oleh karena beliau dikendangkan yaitu diasingkan atau dibuang ke Kaapstad, Afrika Selatan, sampai wafatnya, kemudian jenazahnya dimakamkan di Astana Imogiri, Yogyakarta. Pengasingan ini terjadi pada masa Pakubuwono II.
Semasa kecil
RM Said sudah harus hidup mandiri karena ibundanya R.Ay Wulan telah wafat
setelah melahirkan dirinya. Selang dua tahun kemudian ayahandanya Pangeran
Mangkunegara karena fitnahan Patih Danurejo ditangkap dan dibuang ketanah
Kaapstad di Ceylon/Srilangka). Akibatnya masa kecil RM Said dilalui dengan banyak
penderitaan dari tidak diakui sebagai pangeran sampai harus hidup layaknya abdi
dalem. Kehidupan sebagai bangsawan keraton seperti terhapus dari masa kecilnya.
Makan, minum, bermain bersama-sama anak abdi dalem keraton. Selama masa
kecilnya hidupnya harus tidur di kandang kuda, bagaikan seorang pekatik kuda. Apalagi
pada usia 3 tahun beliau harus kehilangan kasih sayang ibundanya yang wafat.
Tahun berikutnya RM Sahid kecil ditinggalkan ayahnya Pangeran Mangkunegara juga yang ditangkap Pakubuwono II atas
hasutan patih Danurejo dan diasingkan ke tanah Kaapstad.
R.M Sahid dan
beberapa saudaranya RM Ambiya, RM Sabar dibawa ke keraton sebagai
anak piatu, mendapat pendidikan, perlakuan dan pengalaman yang membuat hatinya
makin tersakiti karena diperlakukan tidak layaknya bangsawan keturunan keraton.
Hal inilah yang membentuk sifat dan kepribadian R.M Said menjadi seorang yang
berani, mempunyai sifat kebersamaan, kedekatan dengan rakyat kecil dan juga
membakar dendam dalam dirinya terhadap ketidak adilan yang menimpa dirinya.
Setelah beliau mencapai usia remaja,
diangkat sebagai pegawai keraton dengan pangkat Mantri Gandek Anom dengan
sebutan dan nama R.M Suryakusuma dan diberi “ Gaduhan “ ( hak pakai ) sawah di
Ngawen seluas 50 jung ( =200 bahu ). Dua orang kakaknya
bernama R.M Ambiya dan
R.M Sabar juga diangkat menjadi Mantri Gandek Anom berturut-turut dengan gelar
dan nama : R.M Martakusuma dan R.M Wiryakusuma, masing-masing diberi gaduhan
tanah seluas 100 bahu.
Mulai berjuang
Dengan meningkatnya usia
dan kesadarannya, maka R.M Suryakusuma ( Sahid ) merasakan nasibnya yang buruk menjadi
berat. Perlakuan tidak adil dan sewenang-wenang yang dikenakan kepada ayahnya (
almarhum Pangeran Mangkunagara Kendang ) menggigit jantung pemuda R.M
Suryakusuma. Akhirnya beliau mengambil keputusan : keluar dari istana
Kartasura untuk berjuang, menentang pemerintahan Pakubuwono II, untuk merebut bagian dari
kerajaan Mataram bagi diri pribadi. Beliau mengambil dua orang pembantu utama
yang merupakan bahu kiri dan kanannya, ialah : Wiradiwangsa, pamannya sendiri
berasal dari Nglaroh.
Sutawijaya, anak almarhum Tumenggung Wirasuta yang tidak dapat mengganti
kedudukan ayahnya, tetapi menerima banyak uang dan harta benda peninggalan
ayahnya. Pada tahun 1742 terjadi kemelut di istana Kartasura. RM Said berhasil
meloloskan diri ke Wonogiri bersama teman-temannya yang kemudian menjadi
pasukan inti dan terkenal dengan sebutan Punggawa baku/inti.
Pemuda-pemuda Kartasura
yang menggabungkan diri pada gerakan R.M Sahid, mula-mula ada 18 orang. Atas
nasehat ki Wiradiwangsa, maka R.M Sahid beserta pembantu-pembantunya dan pemuda-pemuda pengikutnya berpindah ke Tanah
Laroh, yaitu asal leluhur R.M sahid dari pihak neneknya bernama R. Ayu
Sumanarsa. Disini belio mendapat simpati dari pihak rakyat sehingga dalam waktu
yang tidak lama belio mempunyai pengikut banyak sekali. Segera diadakan
peraturan secara organisasi perjuangan yang bai dan praktis, demikian : R.M
Sahid menjadi pemimpin utama, Ki Wiradiwangsa diangkat menjadi pepatihnya,
diberi gelar dan nama Kyai Ngabehi Kudanawarsa dan R.M Sutawijaya menjadi pemimpin
pasukan tempur, diberi gelar dan nama Kyai Ngabehi Rangga Panambangan.
Pemuda-pemuda berasal dari Kartasura
yang semula 18 orang banyaknya, kemudian bertambah menjadi 24 orang, merupakan
barisan inti, disebut “ Punggawa “. Namanya diganti semua menjadi nama dengan permulaan :
“ Jaya “ misalnya Jaya Panantang, Jaya Pamenang, Jaya Prawira dsb. “ Jaya “
artinya = sakti atau
menang.
Tiap hari diadakan
latihan perang, cara menyerang, menangkis dan membela diri. Tiap malam diadakan
bermacam-macam latihan rohani misalnya : Menyepi ditempat-tempat yang gawat dan
keramat, bertirakat, bertarak brata, mohon kepada Tuhan agar tercapai
cita-citanya : ada pula yang merendam diri di sendang atau di dalam lubuk yang
angker. Para pengikut R.M Sahid itu semua juga digembleng jiwa dan semangatnya
dengan diberi wejangan-wejangan oleh para kyai antara lain oleh kyai Nuriman,
modin di Laroh. Dengan demikian para pengikut R.M Sahid dalam waktu beberapa
bulan saja sudah merupakan pasukan tempur yang digembleng jiwa raganya, sedang
jumlahnya tidak sedikit. Mereka semua bersemangat tinggi, ingin selekas mungkin
diajukan ke medan pertempuran. Dan kesempatan yang dinanti-nantikan mereka itu segera datang juga,
ialah dengan adanya : Geger Pacina.
Diusia yang baru 17 tahun
itu, beliau telah menyatakan perang terhadap kekuasaan Kumpeni dan Sunan
Pakubuwana (PB) II.
Beliau melatih sendiri para prajuritnya, baik laki-laki maupun wanita,
mengangkat senjata dan menunggang kuda sehingga menjadi pasukan yang tangguh,
tangkas, berani dan setia.
Kemudian setelah berdiam diri di Nglaroh artinya Ngelar Roh (Rohani),
Punggawa baku ini bertambah menjadi 40 ditambah beberapa pemuda berasal dari
sekitar Wonogiri antara lain Punggawa Baku yang dikenal juga dengan nama
Punggawa Baku Kawandoso Joyo :
1.
Kyai Kudanawarsa atau Kyai Ngabehi Rangga Panambangan sebagai
Patih
2.
R.M
Sutawijaya atau Ronggo Panambang sebagai Senopati perang
3.
Jaya Prawiro
4.
Jaya Puspito
5.
Jaya Wiguno
6.
Jaya Praboto
7.
Jaya Utomo
8.
Jaya Sentiko
9.
Jaya Panantang
10.
Jaya Pamenang
11.
Jaya Dikromo
12.
Jaya Rencono
13.
Jaya Sentono
14.
Jaya Mursito
15.
Jaya Prabowo
16.
Jaya Yudo
17.
Jaya Tilarso
18.
Jaya Dento
19.
Jaya Widanto
20.
Jaya Suwalyo
21.
JayaLeyangan
22.
Jaya Suwito
23.
Jaya Diporo
24.
Jaya Sutarmo
25.
Jaya
26.
Jaya
27.
Jaya
28.
Jaya
29.
Jaya
30.
Jaya
31.
Jaya
32.
Jaya
33.
Jaya
34.
Jaya
35.
Jaya
36.
Jaya
37.
Jaya
38.
Jaya
39.
Jaya
40.
Jaya
Bergulirnya waktu R.M Said mendapat dukungan dan membentuk pasukan yang
terdiri dari :
A.
BARISAN ULAMA
“Subhanullah Subhanullah Subhanullah
Allahuakbar Allahuakbar Allahuakbar”.
Kalimat
ini senantiasa dikumandangkankan RM.Said dimanapun beliau berada dan mulai
mengangkat senjata bukan
karena ingin menjadi raja, tetapi karena didorong oleh cita-cita luhur untuk
menegakkan keadilan dan kebenaran. Mulat
sariro hangrasa wani, melalui introspeksi diri yang terus menerus, maka
akan menimbulkan keberanian untuk bertindak demi keadilan dan kebenaran. Bagi
beliau, menjaga kebersihan batin adalah merupakan hal yang mutlak yang harus
dilakukan dalam hidup ini. Para Kyai dan ulama tanpa ragu mendukung perjuangan
beliau. Kyai Penambangan selalu berada disamping beliau dalam suka dan duka.
Raden Penghulu, pimpinan ulama dari Bayat gugur ditembus peluru Belanda di saat
bertempur bersama RM.Said. Pangeran Sambernyawa merupakan sosok pribadi yang
tabah dan pemberani, tetapi penuh dengan welas asih.
B.
BARISAN PRAJURIT WANITA
Ada
ungkapan “witing klapa Jawata ing ngarsa
pada, salugune wong wanita dasar nyata”. Wanita adalah bagaikan dewi yang
turun ke bumi. Keberadaannya di dunia ini harus dihormati. Mereka diibaratkan
sebagai pohon kelapa yang kokoh, tetapi luwes. Prinsip-prinsip inilah yang
dipegang oleh RM Said dalam memperlakukan para wanita. Di saat dunia masih mempermasalahkan
kesetaraan gender, beliau telah membentuk pasukan wanita yang bertempur dengan
gagah berani disamping para pasukan pria. Pasukan ini dinamakannya “Ladrang Mangungkung”, yang berarti
Pasukan yang mengepung musuh hingga tak berdaya dan itu telah terbukti di
berbagai pertempuran melawan VOC.
Sebanyak
144 di antara prajuritnya adalah wanita, terdiri dari satu peleton prajurit
bersenjata karabin (senapan), satu peleton bersenjata penuh, dan satu peleton
kavaleri (pasukan berkuda). Mangkunegoro tercatat sebagai raja Jawa yang
pertama melibatkan wanita di dalam angkatan perang. Prajurit wanita itu bahkan
sudah diikutkan dalam pertempuran, ketika ia memberontak melawan Sunan, Sultan
dan VOC. Selama 16 tahun berperang, Mangkunegara mengajari wanita desa
mengangkat senjata dan menunggang kuda di medan perang. Ia menugaskan
sekretaris wanita mencatat kejadian di peperangan.
C.
PASUKAN PRIA
Rakyat
Kerajaan Mataram adalah rakyat yang cinta damai, tetapi lebih cinta
kemerdekaan. Hal ini terbukti sejak Sultan Agung Hanyakra Kusuma memimpin
rakyatnya melawan penjajah. Semangat untuk melawan penindasan tersebut
diwariskan kepada keturunan beliau yang bernama RM.Said. Para prajurit RM.Said
bukanlah prajurit bayaran. Sebagian besar dari mereka adalah para petani,
tukang penebang kayu, pemburu dan rakyat kecil lainnya. Mereka tergerak hatinya
ketika mendengar pekik perjuangan yang dikumandangkan oleh RM.Said. Berjuang
dan berjuang demi keadilan. Darah mereka tertumpah, dalam pertarungan demi pertarungan.
“Jer Basuki Mawa Bea, Rawe-Rawe
rantas malang malang putung, ojo ngganggu gawe, marang kamardikan”.
Semua
tujuan harus ditebus melalui pengorbanan dan segala yang penghalang untuk
tercapainya kemerdekaan, akan tersapu".
D.
PRAJURIT TIONGHOA
Kemerdekaan
adalah hak segala bangsa, perjuangan melawan penindasan tidak mengenal sekat ethnis, suku dan agama. Pangeran
Sambernyawa sangat memahami hal tersebut. Beliau berhasil mengajak seluruh
masyarakat untuk “Hanebu Sa’uyun” Bersatu kokoh bagaikan seikat tebu melawan
segala bentuk kejahatan. Bekas prajurit pendukung RM Garendri
atau Sunan Kuning, seorang pemberontak yang berhasil
menghancurkan benteng Kartasura pada jaman Sunan
Pakubuwono I. Dengan menjebol
tembok benteng Baluwarti Kraton Kartasuro. RM Garendi masih cucu
Amangkurat III dari garwo selir keturunan Cina.
Sejarah
mencatat bahwa seluruh rakyat Mataram termasuk ribuan etnis Tionghoa dibawah
kepemimpinan Kapitan Sepanjang dan Tan Sin Ko alias Sinshe, bersatu padu, bahu
membahu, bersama RM.Said dalam berjuang mengenyahkan penjajah dari bumi
Nusantara. Darah para pejuang laskar Tionghoa ini tumpah menggenangi bumi
pertiwi, menyatu dengan darah saudara-saudaranya dari suku Jawa. Darah yang
telah tergenang berbaur tanpa dapat dibedakan lagi, apakah itu darah Tionghoa
atau darah Jawa.
E.
W A R O K
Pada
saat RM.Said tiba didaerah Keduwang, Wonogiri, beliau bertemu dengan para
pejuang yang gagah berani. Mereka menamakan dirinya sebagai warok. Mereka
menyatakan keinginannya untuk mengikuti RM.Said berjuang melawan Kompeni.
Kesaktian para pendekar ini telah terbukti dalam berbagai pertempuran.
“Suro Diro Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti” atau
dalam bahasa jawa kuno “Sura sudira jayanikang rat, swuh brastha tekaping ulah
dharmastuti”
Artinya : Bahwasanya,
betapapun hebatnya seseorang, saktinya mandraguna kebal dari segala senjata,
namun manakala dalam lembaran hidupnya selalu dilumuri oleh ulah tingkah yang
adigang-adigung-adiguna maka pada saatnya niscayalah akan jatuh tersungkur dan
lebur oleh ulah pakarti luhur atau Segala kesaktian akan pudar kalau tidak menyatu dengan
kebaikan.
Geger
Pecinan
Bertambahnya Etnis cina yang
tinggal di Betavi, mereka di beri pekerjaan oleh VOC. Karena mereka giat dalam
bekerja. Sehingga pada tahun 1740 Gubernur Jenderal Valckeiner memberikan keputusan untuk menangkapi semua
orang cina, walau orang itu mempunya surat
tinggal sekalipun, harus di tangkapi semua dan di masukan penjara. Cina
yang tidak mempunyai pekerjaan ajan dikirim ke Ceylon dipekerjakan di
perkebunan. Banyak yang melarikan diri ke luar kota, yang masih
tertinggal di dalam kota membuat
kerusuhan yang membuat Belanda ketakutan. Sehingga kerusuhan bukan hanya
terjadi oleh orang-orang cina tetapi otang-otang jawa juga mulai memburu cina
di batavia. Korban rumah di bakar 600, etnis Cina yang di bunuh 10.000 ditambah
perintah Gubernur Jenderal Valckenier memerintahkan membunuh semua orang cina
di penjara. Maka yang bisa lolos dari batavia banyak yang melarikan diri ke
Mataram dan Semarang.
Di semarang dengan bantuan Paku Buwono II, yang simpati memberi bantuan kepada orang – orang cina
menghamcurkan benteng di Semarang. Dengan maksud menggunakan orang – orang
etnis cina untuk mengusir Belanda.(Babad Tanah Jawa )
Pada
bulan juli 1742 M terjadilah peristiwa “ Geger Pacinan “ dikeraton Kartasura. Dalam waktu satu malam saja istana Kartasura
sudah dapat direbut oleh pasukan Cina-Jawa dibawah pimpinan R.M Garendi (Tai Wan Sui), cucu Sunan Amangkurat Mas III yang telah diasingkan
oleh kompeni Belanda ke pulau Sailan pada tahun 1708 M. Ada yang mengatakan beliau adalah anak Amangkurat III
dengan selir keurunan Cina. R.M Garendi tersebut oleh para
pengikutnya diangkat sebagai raja Mataram yang syah, dengan gelar dan nama Sunan
Amangkurat V. Nama RM garendi muncul menjadi tokoh pemimpin pemberontak, yang saat di angkat
jadi pemimpin masih berusia sangat muda 12 tahun.
Pemberontakan
ini berhasil merebut Keraton Kartasura pada bulan Juli 1742, dan Pakubuwono II
lari ke Ponorogo.
Kenaikan Mas Garendi sebagai Raja Pemberontak yang diangkat oleh Komunitas Tionghoa dan berhasil merebut Keraton Kartosuro telah mengguncangkan sendi-sendi kekuasaan Kerajaan Mataram Islam. Tidak saja dari sudut politik, tetapi juga dapat dipandang dari sudut budaya.
Kenaikan Mas Garendi sebagai Raja Pemberontak yang diangkat oleh Komunitas Tionghoa dan berhasil merebut Keraton Kartosuro telah mengguncangkan sendi-sendi kekuasaan Kerajaan Mataram Islam. Tidak saja dari sudut politik, tetapi juga dapat dipandang dari sudut budaya.
Dari sudut politik menunjukan bahwa etnis cina
mempunyai kekuatan dan mampu mengguncangkan pemerintahan jawa tradisional. Bahwasannya
bilamana suatu kelompok atau etnis diinjak-injak harga dirinya atau ditekan
sampai lapisan bawah akan mendatangkan suatu kekuatan yang dapat merubuhkan
suatu negara. Dari sudut budaya telah terjadi perubahan bahwa bukan hanya orang
jawa saja (Mataram) yang bisa menjadi pemimpin atau bukan hanya keturunan raja
garis ayah (putera Mahkota ) yang bisa menjadi penguasa kerajaan.
Tanggapan
terhadap pembantaian orang-orang Tionghoa juga ditunjukkan oleh Pakubuwono II.
Banyak yang menganggap bahwa Keraton Mataram ini memanfaatkan konflik VOC
dengan Tionghoa. Namun jelas bahwa dalam konteks keberanian melawan penjajah,
respons Pakubuwono II ini merupakan langkah positif. Dan ini mungkin juga salah
satu bentuk solidaritas Raja Mataram terhadap kelompok Tionghoa.
Sebenarnya
di kalangan istana sendiri telah berkembang dua pendapat yang bersifat pro dan
kontra terhadap rencana Pakubuwono II menyerang VOC dan bergabung dengan komunitas Tionghoa.
Pandangan pertama seperti diutarakan kelompok Patih Natakusuma memilih melawan
VOC sebagai sebuah langkah strategis dengan jalan bergabung dengan komunitas
Tionghoa.
Kelompok
lain dipimpin oleh penguasa daerah pesisir yang berpendapat bahwa dalam
peperangan VOC dan Tionghoa, pada akhirnya akan dimenangkan oleh VOC. Maka
mereka menganjurkan tidak perlu tergesa-gesa, sebaiknya menunggu sampai VOC
terdesak dan meminta bantuan Mataram.
Dua
pertimbangan itu menyebabkan Pakubuwono II sempat ragu-ragu. Namun pada akhir
Raja Mataram ini lebih memilih pandangan yang pertama yakni segera melakukan
penyerangan kepada VOC. Pada November 1741, Pakubuwono II mengirim pasukan dan
artileri ke Semarang sebanyak 20.000 orang dan 30 pucuk meriam yang bergabung
3.500 orang Tionghoa mengepung Markas Besar VOC di Semarang. Selain itu, Pakubuwono II juga menyerang pos VOC di Kartasura yang
berhasil membunuh Kapten Johansen van Nelsen dan menghancurkan markas itu.
Dalam
posisi sulit, akhirnya VOC mendatangkan bala tentaranya dari Batavia dan
meminta bantuan Cakraningrat IV dari Madura. Mereka berhasil memukul mundur
kepungan Tionghoa yang dibantu Mataram di Markas VOC Semarang. Bahkan
Cakraningrat IV berhasil mengalahkan para pejuang Tionghoa di wilayah timur.
Setelah
kekalahan itu, Pakubuwono II baru menyadari bahwa pilihannya untuk mendukung
komunitas Tionghoa melawan VOC adalah sebuah tindakan yang keliru. Untuk itu
Pakubuwono II segera
memohon ampun kepada VOC. VOC mengabulkan dan mengirim utusan yang dipimpin
Kapten Van Hohendorff ke Kartasura untuk melakukan perundingan. Sementara,
Pakubuwono II mengirim juru runding yang dipimpin oleh Patih Natakusuma ke VOC
Semarang, namun VOC menangkap Patih itu dan membuang ke luar negeri.
Penangkapan dan pembuangan Patih Natakusuma ini atas seizin Pakubuwono II.
Perubahan
sikap Pakubuwono II menimbulkan ketidakpuasan dari berbagai kalangan. Para
pejuang anti VOC baik dari kalangan Jawa maupun Tionghoa merasa telah dikhianati
oleh Raja. Situasi ini memunculkan perlawanan pejuang yang lebih hebat baik
kepada VOC maupun Pakubuwono II. Bahkan beberapa pangeran istana yang tidak
puas dengan Pakubuwono II pun bergabung dalam makar ini. Di antara mereka
adalah Pangeran Mangkubumi (kelak menjadi Sultan Hamengkubuwono I) dan Raden
Mas Said (kelak menjadi Pangeran Adipati Mangkunegara).
Isu
perlawanan pun berubah dari anti VOC menjadi anti Pakubuwono II, maka sasaran penyerangannya adalah
Keraton Pakubuwono II di Kartasura. Pada tahun awal 1742, para pemberontak itu
mengangkat salah seorang pangeran cucu laki-laki dari Amangkurat III yang baru
berusia 12 tahun yang bernama Mas Gerendi yang bergelar Amangkurat V atau lebih
dikenal dengan sebutan Sunan Kuning. Sunan Kuning adalah sebutan sunan yang
diangkat oleh komunitas Tionghoa.
Pemberontakan
ini berhasil merebut dengan jalan menjebol tembok benteng Keraton Kartasura pada bulan Juli
1742, dan Pakubuwono II lari ke Ponorogo. Kenaikan Mas Garendi sebagai Raja pemberontak yang diangkat oleh
Komunitas Tionghoa dan berhasil merebut Keraton Kartosuro telah mengguncangkan
sendi-sendi kekuasaan Kerajaan Mataram Islam. Tidak saja dari sudut politik,
tetapi juga dapat dipandang dari sudut budaya.
Bahkan
kenaikan Mas Garendi itu dihubungkan dengan keyakinan orang Jawa terhadap
Ramalan Jayabaya. Ramalan Jayabaya pernah meramalkan bahwa nanti “orang asing”
akan memimpin Jawa “seumur Jagung”. Bahkan seorang intelektual Indonesia yang
cukup rasional pun seperti Tan Malaka percaya dengan itu. ( Tan Malaka “Aksi Massa ” yang terbit pertama kali pada tahun 1926di
Singapura)
RM Garendi ( saat itu baru berusia 12 tahun ) mengangkat dirinya sebagai raja yang
mendapat dukungan dari orang-orang Tionghoa, hal ini disebabkan karena sikap
plin-plan yang mendua dari saudara Paku Buwono II, disatu sisi anti VOC namun
disisi lain patuh pada perintah VOC dengan menangkap patihnya sendiri Pangeran
Notokusumo untuk diserahkan ke VOC kemudian dibuang ke Sri Langka
(Cyelon). Atas perintah Paku Buwono
II untuk membantu secara diam-diam pemberontakan orang Tiong Hoa di Semarang
yang dipimpin oleh Tai Wan Sui.
Nama sebenarnya adalah Raden Mas Garendi dengan sebutan sebagai Sunan Kuning,
merupakan anak Amangkurat III dengan selir perempuan Cina.
Berhasil
mengusir raja Paku Buwono II dari keraton Kartosuro hingga lari ke Ponorogo,
dalam mengisi kekosongan raja di Mataram maka Raden Mas Garendi dinobatkan
sebagai Amangkurat V. Namun akhirnya Paku Buwono II, meminta bantuan
kepada VOC agar dapat kembali berkuasa, dengan dalih ini VOC dapat memperluas
kekuasaannya hampir seluruh wilayah Jawa.
Dengan
pasukan yang cukup besar Paku Buwono II dibantu oleh VOC dan Madura, melawan
pasukan Amangkurat V dengan dukungan orang-orang Tionghoa dapat dikalahkan dan
kemudian beliau ditangkap dan dibuang ke Sri Langka.
Sunan
Pakubuwono II melarikan
diri, mengungsi ke Ponorogo. Dari sini beliau minta bantuan kompeni di Jakarta.
Bala bantuan segera datang dari Madura dibawah pimpinan P. Cakraningrat IV.
Dalam bulan Desember 1742 Sunan Kuning, demikian nama julukan Sunan Amangkurat
V, beserta semua pengikutnya diusir dari keraton Kartasura, lalu berpindah ke
desa Randulawang, daerah Mataram.
Tapi di Ponorogo ini juga ditanda tangani perjanjian
yang sangat merugikan Mataram. Beberapa daerah harus dilepas Sunan untuk di
berikan ke VOC.
Bergabung dengan Sunan
Kuning.
RM. Said dengan seluruh pasukannya bergabung dengan Sunan Kuning
untuk mempraktekkan kecakapannya berperang bahkan diangkat menjadi panglima
tentara Sunan Kuning bahkan diberi gelar Panglima Prangwadana Pamot Besur (April 1743). Kala itu
usia beliau 19 tahun.
Pada saat Sunan Kuning dikejar tentara Kompeni dan
terpaksa bergeser kedaerah Keduwang – Ponorogo – Madiun – Caruban. R.Said mengikuti
perjalanan Sunan Kuning lalu berpisah di Caruban kemudian Sunan Kuning bergerak
ke Jawa Timur bergabung dengan keturunan Untung Suropati namun tak lama
kemudian menyerah pada Kompeni dan berakhirlah geger pacinan tersebut.
Adapun P. Prangwardana ternyata mempunyai
cita-cita lain dari Caruban
beliau menuju ke barat menuju daerah Sukowati
dimana oleh masyarakat setempat dia diangkat sebagai pimpinan dengan gelar
Pangeran Adipati Anom Amangkunegoro Senopati Ing Ngalogo Sudibyaning
Prang. Lalu bergerak terus ke Panambangan
melalui Jati Rata, Mateseh dan
Segawe. Namun disini beliau
tidak kuat menghadapi serangan pasukan P. Mangkubumi atas perintah Paku Buwono
II yang telah bertahta di Kartasura.
Pangeran
Mangkubumi adalah
adik Paku Buwana II yang berlainan ibu yang pada saat itu memenuhi seruan Paku
Buwono II untuk membasmi peberontakan RM. Sahid dan Martapura. Untuk sementara
Pangeran Mangkubumi berhasil meredam pemberontakan walaupun harus meloloskan
RM. Sahid. Hal ini menimbullkan konflik dari dalam dimana PB II yang tadinya menjanjikan tanah Sukowati
bagi yang dapat menangkap RM. Sahid akhirnya mengingkari janjinya karena
kelicikan Patihnya sendiri yaitu Pringgolaya.
Sehingga
Pangeran Mangkubumi
lari dan bergabung dengan Pangeran Mangkunegara untuk bergerilya melawan belanda. RM
Said/P.Sambernyawa
dinikahkan untuk yang kedua kali dengan Putri Pangeran Mangkubumi yang bernama Raden Ayu
Inten (Bendoro) dan bergelar Pangeran Adipati Mangkunegara Senapati Panoto Baris Lelana Adikareng
Noto. Pertama menikah
dengan Rubiyah putri Kyai Kasan Nuriman di Matah (sekarang
wilayah Selogiri, Wonogiri ). Mengenai
pernikahan ini ada ceritanya.
Menurut cerita yang berkembang di masyarakat, di
dusun itulah Rubiyah putri Kasan Nuriman di lahirkan dan besar sampai bertemu
RM Said. Saat lahir bernama Rubiyah dan pada saat itu nama Matah masih bernam
Puh Kuning. Ayahnya seorang pemuka masyarakat yang di ceritakan sangat sakti
bernama Kyai Kasan Nuriman.
Menurut cerita Kyai Kasan Nuriman pernah mengajak RM
Said bertapa saat singgah dalam perjalanan perjuangannya melawan tentara
Belanda di dusun tersebut. Namun pertemuan antara RM Said dengan Rubiyah
tidaklah semudah yang dibayangkan orang. Pertemuan RM Said dan Rubiyah kali
pertama terjadi pada acara pertunjukan wayang kulit di kampung Bantengan di
timur Gunung Mijil, tak jauh disebelah utara Dusun Puh Kuning ( Matah ).
Kampung Bantengan ini sekarang masuk wilayah kelurahan Kaliancar Selogiri.
Saat menonton pertunjukan wayang kulit tersebut, RM
Mas Said atau Pangeran Sambernyawa melihat seorang perempuan cantik jelita
dengan wajah yang bersinar maka kemudian RM Said menyobek kain wanita itu di
tepinya sebagai pertanda, sewaktu ketiduran karena kelelahan menonton wayang.
Karena penasaran Pangeran Sambernyawa kemudian memerintahkan prajuritnya
mencari perempuan dengan penanga tersebut dengan maksud hendak dijadikan
istri. Cerita ini saya dapat dari mbah
Pardi (Supardi, abdi dalem juru kunci Pura Mangkunegaran yang juga dipasrahi
ngurusi petilasan P.Sambernyawa. Sendang Siwani).
Setelah menemukan perempuan itu ternyata adalah
puteri Kyai Kasan Nuriman, RM Said/ Pangeran Sambernyawa meminta izin
menikahinya, setelah menikah digantilah nama Rubiyah puteri Kyai Kasan Nuriman
menjadi Raden Ayu Patah Hati atau Matah
Ati, dan dusun tempatnya tinggal di ganti namanya menjadi dusun Matah.
Tempatnya di atas Sendang Siwani Krisak, Selogiri, Wonogiri. Diambil nama Patah
Hati atau Matah Ati (dlm bhs jawa) karena untuk mengingatkan kekecewaannya pada
nasipnya sebagai pangeran yang harus hidup terlunta-lunta karena pokal Patih
Danurejo.
RM Said maupun Raden Ayu Patah Hati sangat di
hormati oleh penduduk setempat dan dianggap sebagai tokoh pendiri Kabupaten
Wonogiri. Maka Raden Ayu Patah Hati sendiri ada di Gunung Mijil dan makam
ayahnya Kyai Kasan Nuriman ada di dusun Karangtengah, Desa Jaten, Selogiri.
Pada malam-malam tertentu selalu menjadi tempat ziarah berbagai kalangan
Masyarakat.
Nama
Mangkunegara ini diambil dari nama ayahnya Arya Mangkunegara yang ditangkap Belanda dan dibuang ke Srilangka,
karena menentang kekuasaan Amangkurat IV (Paku Buwana I) karena latar
belakang inilah RM Said sangat berkobar melawan belanda. Kehidupan Mangkunegara
dihutan dan berpindah-pindah. Hingga pada saatnya PB II meninggal dunia dan
kesempatan ini digunakan untuk mengangkat Mangkubumi menjadi raja di Mataram
Ngayogyakarta dengan patihnya Mangkunegara (1749) tetapi pemerintahan di Yogyakarta tidak
diakui oleh Kumpeni
/ Belanda. Sedangkan
oleh Belanda putra
pangeran yang bernama Pangeran Adipati Anom diangkat sebagai raja dengan
gelar PB III di Mataram Surakarta. Selama sembilan tahun bersama Mangkubumi akhirnya
Mangkunegara berselisih paham juga dan berpisah akhirnya berjuang sendiri
dipedalaman yogyakarta dan sekitarnya. Perseteruan dua keturunan mataram yang
sama-sama mengaku raja Mataram antara Mangkubumi dan Adipati Anom akhirnya
dibawa oleh belanda dalam suatu Traktat perjanjian yang bernama Perjanjian
Giyanti(1755) dan hasilnya adalah membagi 2 wilayah Mataram yaitu bagian timur dengan nama
Mataram Surakarta Hadiningrat dengan raja Sri Susuhunan Paku Buwana III dan
bagian barat bernama Mataram Ngayogyakarta Hadiningrat dengan raja
Mangkubumi dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwono Senopati Ngalogo Abdurrahman
Sayidin Panotogomo. Sedangkan Mangkunegara kini harus berperang melawan 3
kekuatan yaitu dari Yogyakarta, Surakarta dan pasukan Belanda (VOC). Menurut riwayat perang Mangkunegara yaitu:
1.
Setahun (1741-1742) bergabung dengan Laskar cina ,
2.
Sembilan tahun (1743-1752) bergabung dengan Mangkubumi.
3.
Empat tahun ( 1752 – 1756 ) berjuang
sendiri sampai mendirikan Kadipaten Mangkunegaran.
Dalam masa itu
Pangeran Mangkunegara
telah melakukan pertempuran sebanyak 250 kali dan berkali-kali
Pangeran Mengkunegara lolos dalam penyergapan,
keberhasilan membina pasukan yang militan sangat ditakuti sehingga mendapat
julukan “Pangeran Samber Nyawa “, Julukan Pangeran
Sambernyawa diberikan oleh Nicolaas Hartingh, gubernur VOC, karena di dalam
peperangan RM. Said selalu membawa kematian bagi musuh-musuhnya.
Tak kurang dari Gubernur Direktur Jawa, Baron van Hohendorff, yang berkuasa
ketika itu, memuji kehebatan Mangkunegoro. “Pangeran yang satu ini sudah sejak
mudanya terbiasa dengan perang dan menghadapi kesulitan. Sehingga tidak mau
bergabung dengan Belanda dan keterampilan perangnya diperoleh selama
pengembaraan di daerah pedalaman.
Dalam buku harian Mangkunegara disebutkan ada dua pertempuran besar yaitu :
1.
Pertempuran di desa Sitakepyak selatan Rembang . pasukan musuh
sebanyak 600 tewas yang dilukiskan seperti semut yang berjalan tiada
henti sedangkan prajuritnya yang tewas hanya 3 orang 29 luka-luka.(1756) .
dalam perang ini tercatat oleh belanda telah melakukan serangan gabungan yaitu
200 serdadu belanda, 400 pasukan Kesultanan Yogyakarta dan 400 Pasukan Surakarta.
Bahkan kapten Ban Der Poll tewas terpenggal kepalanya dengan tangan kirinya di
sambar oleh Pangeran Sambernyawa dan di berikan kepada selir Mbok Ajeng Wiyah
selirnya sebagai tanda cinta Mangkunegara.
2.
Perang
besar kedua yaitu di hutan dekat Blora pada tahun 1757. keganasan pasukan
belanda yang menyerang dan menjarah harta orang desa membuat marah Sambernyawa
yang akhirnya menyerang balik Kraton Yogyakarta dan mendudukinya hingga malam,
bahkan patihnya yang bernama Joyosudirgo dipenggal kepalanya. Kejadian ini
membuat marah pamanya atau mertuanya Mangkubumi dan menghadiahkan siapa saja
yang berhasil membunuh Sambernyawa akan di bayar 500 real.
Dalam Babat Giyanti (Pujangga
Yasadipura I), ketika RM. Sahid menobatkan diri sebagai raja Jawa dengan
gelar Sunan Adiprakosa Senopati Ngayuda Lelana Jayamisesa Prawira Adiningrat,
serta duduk disinggasana dan dihadapan bala tentaranya tersambar petir dan
terkena dampar tahtanya hingga remuk beliau jatuh pingsan diatas lantai namun
tidak wafat hal ini tidak masuk akal jikalau ada seorang duduk diatas kursi
lalu disambar petir seharusnya beliau pun ikut hancur. Dalam peristiwa tersebut
Kyai Tumenggung Kudanawarsa segera menolongnya dan menunjukkan mengapa ini bisa terjadi, yaitu
: kesombongan beliau atas pemberian gelar raja Jawa yang sebetulnya belum
selayaknya disandang dengan kenyataan inilah dia berganti gelar Pangeran Arya
Mangkunegoro (1746). Peobatan itu sendiri di desa Mantenan, Nglaroh,
Selogiri.
Kejadian tersebut disusul
dengan peristiwa dimana markas besarnya di Panambangan diserbu dan diduduki Kompeni yang
dipimpin Mayor Van Hohendorff serta Patih Pringgolaya dari Paku Buwono II
bahkan begeser ke Ngepringan – Pideksa –
Tirtamaya – Keduang – Girimarta – Nggabayan(Honggobayan) – Druju – Matesih – hingga sampai didesa padepokan
Samakaton bahkan waktu di daerah Ngepringan sang pangeran hampir
terbunuh bahkan sempat berpisah dari keluarga dan pasukannya mendaki bukit dan turun
gunung bersama Kyai Kudanawarsa dan Kyai Surawijaya. Di
Pedepokan Samakaton tinggal 2 pertapa kakak beradik namanya Ki Ajar Adisana dan
Ki Ajar Adirasa. Beliau berguru pada keduanya dan diberi wejangan yang
intinya :
1. Kyai guru tersebut menunjuk kesalahan
Pangeran Sambernyawa/ Mangkunegara atas kesombongannya
2. Kedua beliau mendapat hukuman dari Ilahi
3. Beliau harus bertobat secara mendalam
4. Beliau hendaknya mencontoh Panembahan
Senopati Ing Ngelogo Mataram dan pada Pamannya Pangeran Mangkubumi
5. Beliau diuji menjalankan laku – dan
bertapa selam 7 hari-malam tanpa makan dan minum seorang diri di Gunung
Mangadeg.
Menurut Babat Giyanti
dalam pertapaannya terjadi sesuatu keajaiban yaitu mendapat pusaka secara gaib
berupa satu tombak vaandel yang bernama Kyai Budho dan satu kerangka tambur bernama
Kyai Slamet yang menunjukkan simbol kejayaan.
Dibagian lain Pujangga
Yasadipura I memaknakan fenomena di Samakaton ini dengan mengkiaskan maksud
pendidikan moral – mental yaitu :
1. Samakaton
2. Adisana
3. Adirasa
4. Mangadeg
5. Vaandel (tombak)
6. Kerangka tambur,
Artinya
adalah :
1.
Samakaton
artinya kesemua hal dapat terlihat apabila manusia mau datang menyepi ditempat
yang indah
2. Adisana
artinya tempat yang indah, apabila manusia berani laku menyepi di tempat yang
indah itu akan mendapatkan rasa ynag indah pula yang akhirnya menimbulkan
kemurnian dihati nuraninya
3.
Adirasa artinya rasa yang indah.
Dalam hal 1, 2, 3
tersebut diatas kenyataannya apabila manusia sanggup berdiri (mangadeg –
mendirikan Imannya) kepada Yang Maha Kuasa seperti tegaknya vaandel tersebut.
4. Tombak atau Vaandel simbol kejayaan
apabila ditambahkan dengan rasa suci, sunyi, kosong, kang Hamengku Hana (ada)
yang dinisbatkan dengan :
5. Kerangka tambur digunung Mangadeg tersebut.
Setelah mendapatkan
ilafat baik tersebut beliau menuju ke markas besar pamannya (Pangeran
Mangkubumi dai Jekawal – Sragen Utara ) untuk menggabungkan diri dan memohon
perlindungan pamannya walaupun dalam perjalannya menemui banyak kesukaran
karena ada pengumuman dari kompeni yang apabila dapat menangkapnya hidup atau
mati akan mendapat hadiah pangkat dan uang. Dikisahkan dalam pertemuan dengan
pamannya tersebut beliau diterima baik oleh pamannya bahkan diberikan bantuan
seperangkat senjata dan prajurit untuk kembali kemarkasnya di daerah Gumantar.
Baik pada masa perjuangan
bersenjata maupun sebagai Kepala Pemerintahan Praja Mangkunagaran beliau dikenal sebagai :
ahli strategi, politikus, negarawan, ekonom kerakyatan yang ulung, dan
berwawasan jender. Hal ini dibuktikan dengan memberi peran di berbagai bidang
kepada perempuan antara lain menjadi prajurit yang handal. Beliau seorang
pemimpin yang sangat religius, muslim sejati. Beliau juga telah menulis Al-Quran
30 juz sampai delapan kali.
BAB III
Berpisah dengan Pangeran
Mangkubumi
. Setelah
selama sembilan tahun berjuang bersama melawan kekuasaan Mataram dan VOC, Pangeran
Mangkubumi yang sudah
menjadi Sultan Yokyakarta Adiningrat dengan gelar Kanjeng Susuhunan Pakubuwono Senopati Ngaloka
Abdurrahman Sayidin Panotogomo . Penobatan ini terjadi pada “tahun Alip” 1675
(Jawa) atau 1749 Masehi. Akhirnya berselisih paham dengan Pangeran Mangkunegara, pangkal konflik
bermula dari wafatnya
Paku Buwono II. Menurut babad tanah jawa Pangeran Mangkunegara
menginginkan menjadi sunan sendiri (Babad Tanah Jawa Perangan Kang Kaping
Pindho BAB 11, L Van Rijckevorsel, 1925 )
Paku
Buwono II sebelum wafat menyerahkan tahta Mataram kepada Belanda. Hal ini
juga karena kelicikan Belanda yang pada saat sakitnya Paku Bowono II parah di
Semarang menyerahkan
surat untuk memberikan kekuasaan VOC ( Belanda) untuk mengangkat raja baru di
Mataram Surakarta. Sehingga Pangeran Adipati Anom, putera Mahkota Paku Buwono II,
dinobatkan sebagai raja Mataram oleh Belanda, dengan gelar Paku Buwuno III, pada akhir 1749. Sunan
baru ini tidak mempunyai jiwa yang
teguh, dia lemah karena diangkat Belanda, sehingga kedudukannya hanya
sebagai vasal Belanda.
Pakubuwana III
merupakan raja yang sangat tunduk kepada VOC. Setiap keputusan VOC selalu diterimanya dengan patuh
karena perasaan ketergantungannya terhadap bangsa Belanda
itu. Kelemahan politik Pakubuwana III menyebabkan keadaan istana tegang. Muncul
komplotan-komplotan yang berusaha mengendalikan pemerintahannya. Suasana tegang
ini berlangsung sampai kematiannya tanggal 26 September
1788.
Pakubuwono III nama aslinya
adalah Raden Mas Suryadi, putra Pakubuwana II
yang lahir dari permaisuri putri Pangeran
Purbaya Lamongan (putra Pakubuwana I). Pakubuwana III naik takhta Surakarta
tanggal 15
Desember
1749 menggantikan ayahnya
yang sakit keras di Semarang.
Beliau dilantik sebagai raja oleh Baron von
Hohendorff gubernur pesisir Jawa bagian timur laut, yang mewakili VOC. Pakubuwana III
melanjutkan Perang Suksesi Jawa III menghadapi pemberontakan Pangeran
Mangkubumi dan Raden Mas Said. Pemberontakan Mangkubumi ini telah meletus sejak
tahun 1746.
Pihak pemberontak sendiri telah mengangkat Mangkubumi sebagai raja dan RM Said sebagai patih tanggal 12 Desember
1749 di markas besar
mereka, yaitu bekas daerah lama Mataram.
Mangkunegoro diangkat sebagai Patih –perdana menteri– sekaligus panglima
perang dan dinikahkan dengan anak Pangeran Mangkubumi yang bernama Raden Ayu Inten, kemudian diganti namanya
menjadi Kanjeng Ratu Bandoro. Dalam upacara penobatan itu, Mangkunegara berdiri
di samping Mangkubumi. Dengan suara lantang ia berseru :
“Wahai kalian para Bupati dan Prajurit,
sekarang aku hendak mengangkat Ayah Pangeran Mangkubumi menjadi raja Yogya
Mataram. Siapa dia antara kalian menentang, akulah yang akan menghadapi di
medan perang”
Meski demikian, pemerintahan Mataram Yogyakarta berpusat di Kotagede itu
tidak diakui Belanda.
Sebenarnya penobatan raja baru itu tidak perlu pengakuan dari Belanda,
karena kerajaan baru itu bukan vasal atau kedudukannya lebih rendah dari
Belanda. Bila kita menengok sejarah kerajaan-kerajaan jawa, tidak ada atau
tidak harus ada pengakuan dari negara lain. Tapi pengaku dari ulama dan rakyat
daerah yang merupakan warga negara kerajaan.
Jadi jelas disini bahwa yang menjadikan Pangeran Mangkubumi menjadi raja
bukan Belanda atau atas usaha Pangeran sendiri tetapi karena Pangeran
Sambernyawa yang menjadikan beliau raja dengan wilayah yang sudah berhasil
dikuasainya, baru kemudian pada perjanjian Giyanti Belanda mengakui pangeran
mangkubumi sebagai raja yang berdaulat tetapi tetap dibawah kuasa Belanda.
Karena dalam perjanjian Pangeran Mangbumi harus bersedia memerangi musuh
Belanda. Dalam hal ini Pangeran Sambernyawa.
Pada tahun 1752 terjadi perpecahan
antara Mangkubumi dan Mas Said.Pokok persoalan Pangeran Mangkubumi
mengadakan perjanjian dengan pihak VOC yang segera menawarkan perdamaian dengan
Mangkubumi sejak 1754.
Perundingan-perundingan berakhir dengan kesepakatan.
Gubernur Hastingh berusaha menemui Pangeran Mangkubumi dengan perantara
Syeh Ibrahim atau Tuan Sari Besar. Pertemuan antara pangeran Mangkubumi dengan
Gubernur N Hastingh berhasil terjadi pada hari Ahad 22 September 1754. Menurut
Register Harian N Hartingh disebutkan bahwa kedatangan N Hastingh bersama
kapten Donkel, di jemput oleh Pangeran Adipati Anom, Tumenggung Ronggo dan
Tumenggung Mondoroko yang dikawal 200 prajurit, di hantarkan menuju
Pesanggrahan pangeran Mangkubumi (di jaga 7000 prajurit ). Sedang Pangeran
Mangkubumi dikawal oleh pangeran Adipati Anom, Pangeran Hangabehi, Pangeran
Notokusumo, dan Tumenggung Alap-alap,Tumenggung Ronggo, Tumenggung Mondoroko
dan Tumenggung Brojomusti.
Selanjutnya diadakan pertemuan terbatas antara Pangeran Mangkubumi dan N
Hasting. Pangeran Mangkubumi di dampingi Pangeran Notokusumo dan Tumenggung Ronggo. Sedang Pihak N
Hasting didampingi Breton, Kapten Van Donkel dan sekretarisnya Fockens. Pendeta
Bastani sebagai juru bahasanya.
Perundingan dilanjutkan tanggal 23 September 1754 dengan keputusan :
Berdasarkan perundingan 22-23
September 1754
dan surat persetujuan Paku Buwono III maka pada 13 Februari
1755 ditandatangani 'Perjanjian di Giyanti yang
kurang lebih poin-poinnya, seperti dikemukakan Soedarisman Poerwokoesoemo, sebagai
berikut:
1. Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sultan
Hamengku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo
Kalifattullah di atas separo dari Kerajaan Mataram, yang diberikan kepada
beliau dengan hak turun temurun pada warisnya, dalam hal ini Pangeran
Adipati Anom Bendoro Raden Mas Sundoro.
2. Akan senantiasa diusahakan adanya
kerjasama antara rakyat yang berada dibawah kekuasaan Kumpeni dengan rakyat
Kasultanan.
3. Sebelum Pepatih Dalem (Rijks-Bestuurder)
dan para Bupati mulai melaksanakan tugasnya masing-masing, mereka harus
melakukan sumpah setia pada Kumpeni di tangan Gubernur.Intinya seorang patih
dari dua kerajaan harus dikonsultasikan dengan Belanda sebelum kemudian Belanda
menyetujuinya.
4. Sri Sultan tidak akan
mengangkat/memberhentikan Pepatih Dalem dan Bupati, sebelum mendapatkan
persetujuan dari Kumpeni.Pokok pokok pemikirannya itu Sultan tidak memiliki
kuasa penuh terhadap berhenti atau berlanjutnya seorang patih karena segala
keputusan ada di tangan Dewan Hindia Belanda.
5. Sri Sultan akan mengampuni Bupati
yang selama dalam peperangan memihak Kumpeni.
6. Sri Sultan tidak akan menuntut haknya
atas pulau Madura
dan daerah-daerah pesisiran, yang telah diserahkan oleh Sri Sunan Paku
Buwono II kepada Kumpeni dalam Contract-nya pada tanggal 18 Mei 1746. Sebaliknya
Kumpeni akan memberi ganti rugi kepada Sri Sultan 10.000 real tiap tahunnya.
7. Sri Sultan akan memberi bantuan pada
Sri Sunan Paku Buwono III sewaktu-waktu diperlukan.
8. Sri Sultan berjanji akan menjual
kepada Kumpeni bahan-bahan makanan dengan harga tertentu.
9. Sultan berjanji akan mentaati segala
macam perjanjian yang pernah diadakan antara raja-raja Mataram terdahulu
dengan Kumpeni, khususnya perjanjian-perjanjian 1705, 1733, 1743, 1746, 1749.
Surat
Perjanjian Giyanti
Perjanjian Giyanti
tanggal 13
Februari
1755. Perjanjian tersebut
berisi pengakuan kedaulatan Pangeran Mangkubumi sebagai raja Mataram
yang menguasai setengah wilayah kekuasaan Pakubuwana III. Pangeran Mangkubumi pun bergelar Hamengkubuwana
I yang membangun istana baru bernama Yogyakarta
Adiningrat tahun 1756 sebagai pusat
kerajaan Mataram. Merupakan
perjanjian yang sangat ditentang oleh RM Said karena bersifat memecah belah
rakyat Mataram.
Sebab-sebab Perpecahan ada beberapa :
1.
RM Said berkeinginan menjadi raja
sendiri
2.
Persekutuan Pangeran Mangkubumi dengan
Belanda
3. Ditariknya istrinya Raden Ayu Inten /
kanjeng Ratu Bandoro oleh Pangeran Mangkubumi
4. Menganggap dua raja Yokyakarta Adingrat dan Surakarta Adiningrat sebagai Raja Boneka/antek Belanda
Pandangan dan keyakinan
R.M. Said /Pangeran Sambernyawa / P. Mangkunagara yang meletakkan Belanda sebagai
musuh yang harus diperangi dapat dilihat ketika Pangeran Mangkubumi berontak terhadap
Belanda. Pada saat itu R.M. Said mau bergabung dan sepenuhnya bahu-membahu mendukung
perjuangan Pangeran Mangkubumi. Karena mempunyai tujuan dan alasan yang
sama, tujuan mengenyahkan Belanda dari Mataram. Alasannya sama-sama di buat
sakit hati oleh Pemerintahan Kartasura dan Belanda.
Namun ketika P. Mangkubumi menuruti keinginan
Belanda dan kemudian diberi kekuasaan di Yogyakarta. Melalui
perjanjian Giyanti antara Belanda dan pangeran Mangkubumi, Sedang Sunan Paku
Buwono tidak bisa berbuat apa-apa karena nerasa tidak mempunyai kekuatan sama
sekali, hanya pasrah. Perjanjian ini dilakukan pada tanggal 13 Februari
1755. Di
desa Giyanti Salatiga. Secara tegas R.M. Said memisahkan diri. Hal tersebut
dinyatakan R.M. Said sebagai berikut :
Tahun je den sengkalani; ponang Liman (8), Lan Turangga (7) ,
Angrasa (6) Wani (1), Kangjeng-Pangeran Dlpatya, Arya Amengkunagoro, sampun
nekad karsarnipun, pisah lan rama sang nata.
Terjemahannya :
Tahun je di beri Sengkalan :
Ponang Liman (8), Lan tutangga (7), Angrasa (6) Wani (1). Kamjeng pangeran
...........Arya Amengkunagara, sudah bertekat bulat hatinya, untuk berpisah
dengan Ayah Mertuwanya yang Raja Ngayokyakarta Adiningrat.
Pada tahun Je 1678 J/1752 M, ‘Kangjeng Pangeran Arya Amengkunagoro sudah
bertekad bulat untuk berpisah dengan ramanda Sang Raja Mataram` (BL, Asmaradana,
50: 248).
Pemisahan tersebut
tentunya terpaksa diambil oleh R.M. Said, karena tidak saja P. Mangkubumi telah
mengingkari janjinya sendiri, tetapi yang lebih prinsip adalah P. Mangkubumi
mau bekerja sama dengan Belanda demi kepentingannya sendiri. Perilaku tersebut
jelas tidak sesuai dengan karakter seorang satria, terlebih dilihat dari
prinsip perjuangan dan filosofi Islam yang selama itu diyakini kebenarannya
oleh R.M. Said. Pengingkaran terhadap prinsip perjuangan tersebut akhirnya
mengingatkan R.M. Said akan perilaku P. Mangkubumi terhadap P. Puger
sebagaimana laporan utusan P. Puger ketika P. Mangkubumi berbalik menyerangnya :
Gusti kula ingutus, mring- pun paman Puger kang nudin-,
kang rumiyin katura, salam taklimpun, lan malih atur uninga, yen ing-
mangke Pangraning Mangkubumi awangsu ing-kang karsa:
Terjemahannya :
Gusti (R.M. Said) kawula diutus pamanda
Panembahan Puger, teriring salam taklim beliau pada Pangeran, dan
memberitahukan, selanjutnya
kami diperintahkan untuk melapor bahwasanya Pangeran Mangkubumi sekarang telah
berbalik pendiriannya, memerangi Pangeran Puger’ (BL, Asmaradana, 9: 23).
Itulah sebabnya, secara
tegas R.M. Said memisahkan diri dari Pangeran Mangkubumi, karena Pangeran Mangkubumi/ Habengkubuwono
I dianggap sebagai pemimpin
yang tidak dapat dipercaya.
Konsekuensi pemisahan
tersebut mau tak mau R.M. Said menempatkan Pangeran Mangkubumi sebagai orang yang harus
diperangi. Keputusan ini tidak hanya berlaku untuk Pangeran Mangkubumi, tetapi juga pada Sunan
Paku Buwono III yang menyetujui kerja sama
dengan Belanda.
Keputusan Pangeran Mangkubumi untuk menerima tawaran perdamaian dengan
Belanda, menyudutkan posisi RM Said akan perjuangannya untuk membebaskan dan
menyatukan Mataram dalam satu pemerintahan dan melemahnya semangat Pangeran
Mangkubumi untuk mengusir Belanda dari Mataram. Dilihat dari sudut bergabungnya
Pangeran Mangkubumi dalam perjuangan RM Said, hanya menggunakannya sebagai
kendaraan untuk mengambil keuntungan dengan menjadikan dirinya menjadi
penguasa. Walaupun itu hanya akan mendapat separuh dari kerajaan Mataram.
Walaupun perjanjian yang
dibuat Belanda yang terkenal dengan Perjanjian Giyanti intinya adalah
pemberian kekuasaan, secara tersirat kedua raja tersebut harus mau membantu
Belanda memerangi musuh-musuhnya. Dengan demikian kedua raja Yokyakarta Adiningrat
dan Surakarta Adiningrat menjadi bawahan Belanda secara tidak langsung. Di antara musuh-musuh yang dianggap
sangat merugikan adalah R.M. Said. Dari sudut pandang R.M. Said sendiri, kedua
raja yang juga pamannya, karena mau bekerja sama dengan Belanda, maka mereka sebenarnya tidak lebih dari antek Belanda itu sendiri. Karena itu,
mati melawan mereka ditempatkan R.M. Said sebagai seorang pejuang yang mati
syahid. Penegasan terhadap pandangan ini dapat dilihat pada bait berikut :
Sawab aku wus anekad
tur aderah,
batur kabeh suntari
yen tresna maring wang
mgsun tedha mring
Allah,
barenga mati lan mami;
saure _kukila,
sadaya kang prajurit. (BL, Durma, 14: 257)
Terjemahannya :
‘Aku telah bertekad
bulat,
tidak ada pilihan lain mati atau mukti,
kalian prajuritku semua,
jika kalian semua cinta
kepadaku dan kepada Allah,
marilah kita bersama
bertempur mati-matian sampai titik darah penghabisan,
andaikata aku gugur di
medan laga, mari kita gugur bersama, gugur di haribaan Allah,
segenap prajurit
menyatakan kesanggupannya’.
Kalimat “ingsun tedha mring Allah” jelas menyiratkan bahwa perjuangan
tersebut merupakan perjuangan suci. Perjuangan yang disandarkan sepenuhnya
kepada kekuasaan Allah. Jika beliau harus mati, maka R.M. Said akan menerimanya dengan
ikhlas, karena menurutnya
semua perjuangan yang dilakukan merupakan suratan dari Allah. Pasrah dan
ikhlas kepada Allah bukan berarti sikap putus asa, karena konsep pasrah dan
ikhlas yang dikembangkan adalah dalam pengertian dinamis, yang dilandasi usaha
keras dan keyakinan kuat sehingga jauh dari pengertian fatalistik/isme (takdir bukan karena nasip). Konsep
seperti ini secara tidak langsung juga menyiratkan bahwa upaya perjuangan dan
landasan kerja tidaklah untuk menonjolkan diri atau mementin.gkan ambisi
pribadi, melainkan lebih pada konsep kebersamaan dan kesejahteraan umat yang
bersandar pada satu keyakinan yang kuat bahwa semua perjuangan adalah sesuai
dengan kebenaran Islam. Hal tersebut sebagaimana yang selalu ditekankan R.M.
Said kepada semua Punggawa Bakunya dan para
Prajuritnya :
Dyan Pangeran Adipati Mangkunegara,
Ikhlas .manah kang
wening,
tan ana katingal,
nanging- Allah .kang-
mulya,
rzganchka Pangran
Dipati
prajuritira, wong-jero para mantrL (BL, Durma, 45: 260)
Terjemahannya :
Kata Pangeran Adipati Mangkunegara,
Iklas hati yang jernih suci,
Tidak akan terlihat
Tapi Tuhan yang Suci akan tahu semuanya,
Paman Pangeran Dipati (putra mahkota)
Prajuritnya, orang dalam para Mantri / punggawa (BL, Durma, 45 : 260 )
Kata Pangeran Adipati (RM
Said) kepada para
prajurit mantri-lebet, bahwa kalah menang dalam perjuangannya harus didasari
hati yang ikhlas, dan kepercayaan penuh, semuanya diserahkan kepada kehendak
Allah, hanya kepada Allah-lah kita menyerahkan diri dan berlindung’.
Filosofi seperti inilah
yang setiap saat ditanamkan R.M. Said kepada setiap prajuritnya manakala akan
menghadapi peperangan. Baik dalam keadaan terdesak maupun dalam meraih kemenangan,
R.M. Said selalu mengingatkan bahwa perjuangan yang dilakukan hanya semata-mata
karena Allah. Karena itu, mati dalam perjuangan yang dilakukan adalah mati
membela kebenaran agama Allah, mati di jalan Allah, mati dalam perang sabil,
yang berarti mati syahid.
Tujuan paling utama perjuangan P. Sambernyawa atau RM Said adalah mengusir
Belanda dari bumi Mataram dan menyatukan kembali Mataram menjadi satu
pemerintahan (Pringgodigdo, 1950: 9). Perjalanan perjuangannya selama 16
tahun dan 250 pertempuran melawan
Belanda merupakan bukti bahwa R.M. Said merupakan tokoh yang kokoh terhadap
prinsip, pantang menyerah, bahkan sampai akhir perjuangannya tidak pernah dapat ditangkap Belanda. Dengan
berbekal tekad dan semangat “ tiji
tibèh, yang merupakan kependekan dari mati siji, mati kabèh; mukti siji, mukti kabèh “ (gugur
satu, gugur semua; sejahtera satu, sejahtera semua). Dengan motto ini, rasa
kebersamaan pasukannya terjaga dalam semangat untuk mengusir Belanda dari tanah
Mataram.
Konsep kepemimpinan Bangsawan
keturunan Mataram. Konsep kepemimpinan yang harus dikuasai oleh keturunan Mataram
merupakan wulang-wulang dari Sultan Agungan (Sastra gendhing) atau guidance bagi
setiap Satria Trah Mataram.
Dandanggula :
1. “ Kawignyane Wong- Agung
puniki pan sedasa warn yen tan bisa, nistha kuciwa dadine, dhihin karem ing
ngelmu, kaping kalih bisa angaji , ping tiga bisa maca, ping
sakawanipun, kudu alul anenurat, kaping lima wig-nya anitih turanggi,
ping neme bisa begsa “.
Terjemahannya :
‘Apa yang digolongkan
Orang Agung (trah Mataram) itu, haruslah memiliki sepuluh kemampuan dasar, jika
tidak menguasainya pastilah akan menjadi
satria yang nista dan mengecewakan, pertama harus berilmu (senang menuntut
ilmu),
a.
kedua
dapat membaca Kur’an,
b.
ketiga
bisa membaca (selain Kur’an),
c.
keempat
harus pandai menulis (mengarang),
d.
kelima
mempunyai ketangkasan naik kuda,
e.
keenam
pandai menari’.
2. “ Ping pitune kudu wruh
ing- gendhing, kaping wolu apan kudu bisa, tembung kawi tembang gedhe, ping
sanga bisa iku, olah yudha gelaring jurit, wignya angadu bala, ping
sadasanipun,limpat pasanging grahita, wruh sasmita traping kramaniti ; wruh
saniskareng- basa”.
Terjemahannya :
a.
Ketujuh
harus pandai menghayati (memahami dan memainkan) gendhing,
b. kedelapan harus mampu dan paham tembang
gedhe dan kata-kata bahasa Jawa Kuno,
c.
kesembilan
harus menguasai ilmu dan siasat perang,
d. kesepuluh dia harus tanggap akan
perubahan jaman, tahu akan sopan santun, adat, dan tata-krama’.
Jadi bisa kita rangkum menjadi 3 aspek :
1. Berhubungan dengan agama, bahwa manusia
Mataram atau keturunan Mataram di haruskan memiliki keyakinan yang di dasarkan
(Islam).
2.
Moralitas pada hakikatnya mengarah kepada pembentukan moralitas
dan kepribadian (character building)pemimpin trah Mataram
3.
Budaya dalam konteks ini, seorang pemimpin trah Mataram tidak
hanya sekedar dituntut mampu menguasai, memahami, memainkan, dan menciptakan
karya seni seperti halnya gending. Lebih jauh dari pengertian tersebut,
pemimpin trah Mataram harus menghayati dan merefleksikan esensi dan filosofi
seni gending yang dia paham
Karena
penguasaan ketiga aspek itulah yang akan menentukan kualitas kepemimpinannya.
Untuk melengkapi kualitas kepemimpinan trah Mataram, dalam pengantar
transliterasi Babad Keraton, J.J. Ras menyebutkan bahwa institusi kerajaan
Jawa didasarkan atas tiga prinsip yaitu
1.
Kadigdayaan
(kesaktian),
2.
Trah rembesing madu (keturunan), dan
3.
Wahyu keprabon (anugerah status raja yang diberi oleh Tuhan) (BK, trans. Ras, 1992: xvii).
Ketiga aspek inilah yang
harus dibuktikan oleh setiap trah Mataram jika ingin diakui kualitas
kepemimpinannya.
Walaupun sekarang Pangeran Sambernyawa harus berjuang sendirian melawan
tiga kekuatan Kasunanan Surakarta Adiningrat, Kasultanan Yokyakarta Adiningrat
dan Belanda (VOC). Tapi selama 16 tahun atau 250 pertempuran belum pernah
tertangkap. Bahkan Pangeran Sambernyawa untuk menunjukan bahwa beliau sebagai
kekuatan perlu diperhitungkan pernah menyerang ke benteng Belanda (VOC) di Kasultanan Yokyakarta dan menguasainya selama
sehari. Selama penyerbuan ini Pangeran Sambernyawa berhasil menewaskan 5 serdadu
Belanda dan memenggal kepala patih Joyosudirgo Menunjukan bahwa siapapun selain
Tuhan tidak ada yang Pangeran Sambernyawa takuti.
No comments:
Post a Comment