Monday, 19 December 2016

SEJARAH BERDIRINYA MANGKUNEGARAN




SANG MAESTRO PERANG GERILYA DI TANAH JAWA
RADEN MAS SAHID-PANGERAN PRANGWADANA- PANGERAN SAMBERNYAWA-KGPA MANGKUNEGORO 1
PENDIRI KADIPATEN PURA MANGKUNEGARAN
DI SURAKARTA HADININGRAT





PENDAHULUAN
               Kita patut dan harus meneladani perjuangan Pangeran Sambernyawa yang masa kecilnya bernama RM Said dalam usahanya menegakkan kedaulatan tanah jawa diatas bangsa jawa sendiri. Saya katakan jawa bukan Indonesia atau Nusantara karena perjuangan Pangeran Sambernyawa masih sebatas di pulau jawa khususnya jawa tengah dan Jawa Timur.

            Mengenang perjuangan Pangeran Sambernyawa tidak akan lepas dari masa kecil beliau dimana masa kecilnya penuh penderitaan dan kesengsaraan karena kebiadaban kompeni Belanda dan patih Danurejo dari kasunan Surakarta. Orang tuanya Arya Mangkunegoro (Putera Mahkota ) yang sebenarnya lebih berhak menggantikan raja di Kasunan Kartasuro  di fitnah patih Danurejo dan ditangkap kemudian diasingkan atau bahasa jawanya di  “kendangkan” ke Pulau Syailand. Sampai pada wafatnya dengan meninggalkan istri dan 3 orang anak yaitu RM Said, RM Ambiya dan RM Sabar.

          Disini akan dibahas mengenai perjuangan P Sambernyawa dengan 40 Punggawa Bakunya (jw Pendherek) dari masa kecil berumur 2 tahun sampai pendirian Puro Mangkunegaran. Tempat-tempat yang pernah disinggahi dan menjadi daerah perjuangannya yang tersebar di eks karesidenan Surakarta. Solo,Wonogiri,Sukoharjo,Sragen,Klaten Boyolali, yang dulu sebagian dikenal dengan nama Tanah Sukowati.

         Kita akan mengupas tentang latar belakang timbulnya pemberontakan RM Sahid yang terkenal dengan gelarnya Pangeran Sambernyawa sebagai pendiri dinasti Mangkunegaran di wilayah Surakarta Hadiningrat atau Solo.

         Semoga buku ini berguna bagi yang membutuhkannya dan bisa menjadi pedoman bagi yang ingin mengetahui sejarah Mangkunegaran.





BAB 1

SEJARAH SINGKAT KERATON MATARAM ISLAM


            Agar kita mengerti tentang sejarah dan nilai bagi perjuangan  
P. Sambernyawa, sebaiknya kita menengok dulu sejarah berdirinya VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie ) dan system politik yang dianutnya. VOC dalam bahasa Indonesia berarti Perserikatan Dagang Bangsa Belanda. VOC berdiri pada tanggal 20 Maret 1602 dengan Gubernur Jendral pertamanya Pieter Bot.
          Fase kurun waktu VOC berkuasa dan bercokol di Indonesia (Nusantara) dapat dibagi menjadi beberapa tingkatan, yaitu :
1.     Jaman Sunan Amangkurat I di Mataram tahun 1645 – 1677 M.
2.     Jaman Trunojoyo atau jaman dimana Trunojoyo melakukan pemberontakan tahun 1676 – 1681 M.
3.    Jaman Amangkurat II VOC menerapkan politik adu domba atau memecah belah antara penguasa satu dengan lainnya atau tokoh satu dengan lainnya, sehingga mereka dapat dikuasai dan dihancurkan sedikit demi sedikit. Terjadi kurun waktu tahun 1681 -1703 M.
4.    Zaman Amangkurat III terjadi perebutan Mahkota Mataram I tahun 1704 – 1708 antara Pangeran Puger dengan Amangkurat III. Perang rebutan Keraton Mataram Islam clas atau periode ke II tahun 1719 – 1723 M.
5.   Jaman Sunan Pakubuwono II tahun 1755 – 1757 M, dengan pembagian keraton menjadi 4 bagian, Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat dengan Kadipaten Paku Alaman dan Kasunan Surakarta Hadiningrat dengan Kadipaten Mangkunegaran.
Karena beberapa masalah VOC mengalami kemunduran dan bangkrut, sehingga kekuasaan VOC di Hindia Belanda (Indonesia) diambil alih pemerintahan Belanda dan VOC resmi dibubarkan 31 Desember 1799.
Karena banyaknya campur tangan pihak Belanda ke keraton Mataram Islam menyebabkan terjadi banyak kekacauan dan perselisihan antar bangsawan di keraton. Puncaknya Sultan Agung hanyakrakusumo wafat tahun 1645 dengan masa pemerintahan dari tahun 1613 -1645. Masa pemerintahannya banyak terjadi peperangan melawan kompeni Belanda sampai Sultan wafat. Gelar belaiau sebagai penguasa Mataram Islam adalah Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram. Dengan wafatnya Sultan Agung maka praktis tidak ada Sultansebagai raja atau pengusa Mataram Islam yang kuat,para penggantinya sangat lemah atau tunduk terhadap Kompeni Belanda, sehingga memancing banyak pemberontakan dari keluarga raja dan para bangsawan Mataram. Pemberontakan silih berganti melanda Mataram Islam sehingga membuat ringkih pemerintahan dan makin lama daerah kekuasaan Mataram Islam berkurang banyak karena untuk membayar kerugian perang pihak VOC dan daerah terpecah menjadi 4 wilayah kekuasaan. Pemberontakan - pemberontakan paling besar dimulai setelah Sultan Agung  Hanyakrokusumo wafat dan  digantikan putranya Amangkurat I, yaitu :

A.               Zaman Amangkurat I
         Pemerintahannya yang berlangsung tahun 1645 – 1676 banyak diwarnai dengan pembunuhan yang kejam terhadap keluarga keraton. Sehingga menimbulkan pemberontakan dari dalam istana sendiri maupun dari luar istana, yaitu :
Pemberontakan Pangeran Trunojoyo seorang bangsawan dari Madura yang terjadi pada tahun 1674.  Pembrontakan ini sendiri didukung oleh para Ulama dan bangsawan keraton Mataram dan putera mahkota keraton Mataram walaupun akhirnya putra mahkota ini berkhianat dan berbalik mendukung ayahnya Amangkurat I. Amangkurat I juga memindahkan ibukota dari plered ke kerta.                                                                                                                 
Amangkurat I juga memindahkan ibukota dari plered ke Kerta. Disaat itu Pangeran  Puger yang Nama aslinya Raden Mas Drajat, lahir dari permaisuri keturunan Keluarga Kajoran. Karena tejadi pemberontakan Trunojoyo memaksa Amangkurat I melarikan diri sampai Tegalwangi, dimana  kemudian Amangkurat I meninggal disana ( menurut beberapa sumber diracun putera mahkota), sehingga dia   juga dikenal sebagai Sultan Tegalwangi atau Sultan Tegalarum. Karena menganggap Putera Mahkota telah pergi ke Mekah sesuai dengan rencana awal.  Maka Raden Mas Drajat (Pangeran Puger),  merajakan dirinya menjadi Sultan Kabanaran di Jenar. Tetapi ternyata Putera Mahkota tidak jadi pergi ke Mekah.  Ketika terjadi serbuan Trunojoyo tahun 1677, Adipati Anom menolak ditugasi ayahnya mempertahankan Plered, ibu kota Mataram, dan memilih ikut mengungsi ke barat. Pangeran Puger tampil melaksanakan tugas itu sebagai bukti kalau tidak semua keturunan Kajoran mendukung Trunojoyo.
Pangeran Puger kemudian mendirikan Kerajaan Purwakanda berpusat di Jenar. Ia mengangkat diri sebagai raja bergelar Susuhunan Ingalaga. Setelah Trunojoyo kembali ke markasnya di Kediri, Sunan Ingalaga segera merebut Plered dan mengusir anak buah Trunojoyo yang ditempatkan di kota itu. Amangkurat I meninggal dalam pengungsian. Adipati Anom menjadi raja tanpa takhta bergelar Amangkurat II. Dengan bantuan VOC, pasukan Amangkurat II berhasil menumpas Trunojoyo  akhir tahun 1679.

B.               Zaman Amangkurat II
Amangkurat II menggantikan ayahnya sebagai Sultan Mataram Islam setelah Amangkurat I meninggal dunia di Tegal Arum dekat kota Tegal saat ini. Sehingga juga diberi gelar Sultan Tegal Arum. Amangkurat II disebut juga Sunan Amral karena  beliau sultan pertama yang memakai pakaian perwira belanda, Admiral. Bertahta menggantikan ayahnya dari tahun 1677 sampai 1703.  Ia sangat tunduk dan takluk ke pada VOC. Bahkan mengadakan kesepakatan dengan pihak VOC karena telah membantu membunuh Trunajaya dan sebagai kompesansinya atas bantuan VOC Amangkurat II menyerahkan Semarang dan Mataram harus mengganti biaya akibat perang. Akibat perang dengan Trunajaya keraton Mataram di Pleret rusak parah sehingga harus dipindahkan ke Kartasura pada tahun 1681.

C.               Zaman Amangkurat III
Amangkurat II wafat tahun 1703 setelah sebelumnya karena kesulitan keuangaannya berusaha membantu Surapati Adipati Bangil melawan VOC. Ia digantikan putranya Sunan Mas yang kemudian bergelar Amangkurat III. Amangkurat III sangat tidak suka kepada pihak VOC yang dianggap terlalu banyak mengurusi persoalan dalam negeri Mataram Islam. Sehingga Amangkurat III berani menentangnya.
Karena rasa permusuhan yang ditujukan Amangkurat III kepada VOC, maka VOC tidak menyukainya dan mengangkat Pangeran Puger yang sebelumnya sempat berselisih dengan Amangkurat II sebagai Sultan Mataram yang baru dengan gelar Sultan Paku Buwono I dan penobatannya sebagai sultan yang baru dilakukan di Semarang.

D.               Zaman Paku Buwono I
Dengan Pengangkatan dan penobatan Pangeran Puger oleh VOC sebagai sultan baru telah memicu permusuhan antara Amangkurat III dengan Pangeran Puger atau Sunan Paku Buwono  I yang merupakan paman Amangkurat III sendiri. Maka perang perebutan Mahkota I (1704 – 1708) telah terjadi. Yang ankhirnya Amangkurat III kalah dan menyerah ke VOC dan dibuang ke Syailand atau Srilangka oleh VOC. Dengan berakhirnya perang perebutan Mahkota I maka pihak Sunan Paku Buwono I harus menyerahkan daerah Priangan, Cirebon dan Madura bagian Timur ke VOC sebagai ganti biaya perang dan bantuan VOC ke pihak Sunan Paku Buwono I. Sehingga daerah Mataram Islam mulai berkurang lagi di caplok VOC.

E.                Zaman Amangkurat IV
Paku Buwana I wafat tahun 1719 dan digantikan putranya Amangkurat IV yang bergelar Sri Susuhunan Prabu Amangkurat Jawa  atau Sunan Prabu tahun 1719 – 1727. Masa ini terjadi lagi perang perebutan Mahkota Mataram Islam ke II. Dalam perebutan Mahkota ke II VOC berpihak ke Sunan Prabu sehingga para pemberontak dapat dikalahkan dan kebanyakan dibuang ke Srilangka atau pulau Syailand dan Afrika Selatan. Para pemberontak antara lain Pangeran Purbaya dan Pangeran Blitar yang masih pamannya sendiri. Arya Jayapuspita adik Adipati Jayangrana dari Surabaya.
Amangkurat  IV atau Sunan Prabu ini merupakan leluhur para raja-raja di Surakarta Hadiningrat dan Ngayokyakarta Hadiningrat. Beliau yang menurunkan raja-raja penerus Mataram Islam di kedua kerajaan itu.
Amangkurat IV nama aslinya adalah Raden Mas Suryaputra, putra dari Pakubuwana I  yang lahir dari permaisuri Ratu Mas Blitar (keturunan Pangeran Juminah, putra  Panembahan Senopati  dengan Retno Dumilah putri Madiun).  
Amangkurat IV memiliki beberapa orang putra yang di antaranya menjadi tokoh-tokoh penting, misalnya, dari :
1.                 permaisuri lahir Pakubuwana II pendiri keraton Surakarta,
2.                 selir Mas Ayu Tejawati lahir Hamengkubuwana I raja pertama Yogyakarta,
3.             selir Mas Ayu Karoh lahir Arya Mangkunegara, ayah dari Mangkunegara I. Tetapi dari ketiga putra ini Arya Mangkunegara yang tertua usianya maupun urutan garis keluarga karena selir Mas Ayu Karoh merupakan selir pertama.
Karena fitnah patih Danurejo dan VOC maka Arya Mangkunegara ditangkap dan dibuang ke Srilangka sampai pada wafatnya. Sehingga beliau dikenal juga sebagai Pangeran Kendang  (Jw : Kendang sama dengan dibuang).

F.                Zaman Amangkurat V (1742 s/d 1743)
Mengangkat dirinya sebagai raja yang mendapat dukungan dari orang-orang Tionghoa, hal ini disebabkan karena sikap plin-plan yang mendua dari Paku Buwono II, disatu sisi anti VOC namun disisi lain patuh pada perintah VOC dengan menangkap patihnya sendiri Pangeran Notokusumo untuk diserahkan ke VOC kemudian dibuang  ke Sri Langka. Hal ini terjadi sebagai akibat perintah Paku Buwono II untuk membantu secara diam-diam pemberontakan orang Tiong Hoa di Semarang yang dipimpin oleh Tai Wan Sui.  Nama sebenarnya adalah Raden Mas Garendi dengan sebutan sebagai Sunan Kuning, merupakan cucu Amangkurat III. Berhasil mengusir raja Paku Buwono II dari keraton Kartosuro hingga lari ke Ponorogo, dalam mengisi kekosongan raja di Mataram maka Raden Mas Garendi dinobatkan sebagai Amangkurat V.  Namun akhirnya Paku Buwono II, dengan meminta bantuan VOC dapat kembali berkuasa, dengan dalih ini VOC dapat memperluas kekuasaannya hampir seluruh wilayah Jawa.
Dengan pasukan yang cukup besar Paku Buwono II dibantu oleh VOC dan Madura ( Bupati Cakraningrat ), melawan pasukan Amangkurat V dengan dukungan orang-orang Tionghoa dapat dikalahkan dan kemudian beliau ditangkap dan dibuang ke Sri Langka (Cyelon).

G.               Zaman Paku Buwono II
Amangkurat V di ganti putra Amangkurat IV yang baru berusia 15 tahun bergelar Pakubuwono II sebagai raja Kartasura.  
Dari sinilah awal mulanya terjadi pemberontakan yang besar di kerajaan Surakarta sebagai penerus Mataram Islam sehingga terpecah menjadi empat wilayah atau empat pusat pemerintahan.
1.Kasunan Surakarta dengan rajanya bergelar Sunan Paku Buwono II dan seterusnya,
2.Ngayokyakarta Hadiningrat dengan rajanya Hamengkubuwono I dan seterusnya,
3.Praja Pakualaman dengan penguasanya bergelar Adipati Pakualam I dan seterusnya,
4.Kadipaten Mangkunegaran dengan Adipatinya Mangkunegoro I dan seterusnya.
Ke empat kerajaan itu yang benar-benar merdeka tidak ada campur tangan dari pihak Belanda (VOC) hanya satu yaitu Kadipaten Mangkunegaran. Sesuai dengan perjanjian Salatiga  pada tanggal 17 Maret 1757 antara P.Sambernyawa dengan pihak VOC. Isinya P Sambernyawa berhak atas wilayah Kedawung, Matesih, Nglaroh, Wiroko, Hariboyo, Honggobayan, Sembunyan, Gunung Kidul, Pajang Utara, Pajang Selatan dan Kedu. Juga berhak menggunakan gelar Adipati Miji ( Mandiri ) dengan gelar KGPAA  Mangkunegara I yang kedudukannya sejajar dengan Sultan Yokyakarta dan Sunan Surakarta.
Dari hasil perjanjian tersebut juga mewajibkan Kompeni membayar semacam pajak kepada Mangkunagaran sebesar 4000 real per tahun. Ini merupakan hasil negosiasi yang hebat.
Dari sini  penulisan buku ini akan saya mulai yaitu dengan kelahiran R.M Said sebagai putra Arya Mangkunegara cucu Sunan Amangkurat IV dengan garwa selir Mas Ayu Karoh. Dimasa tuanya namanya diganti dengan RA Sumarsana yang dimakamkan tempat kelahirannya di ngledok Selogiri, Wonogiri. Perjuangan beliau selama 16 tahun sampai pendirian pura Mangkunegaran. Tentang daerah yang pernah disinggahinya selama dalam perangnya yang tersebar diseluruh daerah jawa. Khususnya nanti daerah Wonogiri sebagai pusat pergerakan R.M Sahid.



BAB II

AWAL PERJUANGAN R.M SAHID


Pangeran Sambernyawa itu nama kecilnya R.M Sahid, putera Pangeran Mangkunegara Kendang. Ibunya bernama R. Ay. Wulan, puteri Pangeran Blitar. RM Said dilahirkan di istana Kartasura pada hari Minggu tanggal 4 Ruwah tahun Jimakir, bertepatan dengan 8 April 1725.  Nama Sahid itu pemberian dari neneknda Amangkurat IV, beberapa waktu sebelum wafat. Maksud pemberian nama Sahid itu ialah bahwa Sri Sunan masih menyaksikan lahirnya cucunda yang terakhir dalam masa hidupnya.    
Pangeran Mangkunegara Kendang itu putera Sinuwun Amangkurat IV di Kartasura yang sulung. Beliau ini saudara sepupu R.Ay. wulan, Beliau dilahirkan dari seorang garwa selir Amangkurat IV bernama R. Ay. Sumanarsa atau R. Ay Kulo/R.Ay     Karoh  yang disebut R. Ay Sepuh, berasal dari desa Keblokan, tanah lor ( Wonogiri ). Di dalam lingkungan Keraton Kartasura beliau disebut Pangeran Mangkunagara Kendang, oleh karena beliau dikendangkan yaitu diasingkan atau dibuang ke Kaapstad, Afrika Selatan, sampai wafatnya, kemudian jenazahnya dimakamkan di Astana Imogiri, Yogyakarta. Pengasingan ini terjadi pada masa Pakubuwono II.                                                                                   
Semasa kecil RM Said sudah harus hidup mandiri karena ibundanya R.Ay Wulan telah wafat setelah melahirkan dirinya. Selang dua tahun kemudian ayahandanya Pangeran Mangkunegara karena fitnahan Patih Danurejo ditangkap dan dibuang ketanah Kaapstad di Ceylon/Srilangka). Akibatnya masa kecil RM Said dilalui dengan banyak penderitaan dari tidak diakui sebagai pangeran sampai harus hidup layaknya abdi dalem. Kehidupan sebagai bangsawan keraton seperti terhapus dari masa kecilnya. Makan, minum, bermain bersama-sama anak abdi dalem keraton. Selama masa kecilnya hidupnya harus tidur di kandang kuda, bagaikan seorang pekatik kuda. Apalagi pada usia 3 tahun beliau harus kehilangan kasih sayang ibundanya yang wafat. Tahun berikutnya RM Sahid kecil ditinggalkan ayahnya Pangeran Mangkunegara  juga yang ditangkap Pakubuwono II atas hasutan patih Danurejo dan diasingkan ke tanah Kaapstad.
R.M Sahid dan beberapa saudaranya  RM Ambiya, RM Sabar dibawa ke keraton sebagai anak piatu, mendapat pendidikan, perlakuan dan pengalaman yang membuat hatinya makin tersakiti karena diperlakukan tidak layaknya bangsawan keturunan keraton. Hal inilah yang membentuk sifat dan kepribadian R.M Said menjadi seorang yang berani, mempunyai sifat kebersamaan, kedekatan dengan rakyat kecil dan juga membakar dendam dalam dirinya terhadap ketidak adilan yang menimpa dirinya.
Setelah beliau mencapai usia remaja, diangkat sebagai pegawai keraton dengan pangkat Mantri Gandek Anom dengan sebutan dan nama R.M Suryakusuma dan diberi “ Gaduhan “ ( hak pakai ) sawah di Ngawen seluas  50 jung ( =200 bahu ). Dua orang kakaknya bernama R.M Ambiya dan R.M Sabar juga diangkat menjadi Mantri Gandek Anom berturut-turut dengan gelar dan nama : R.M Martakusuma dan R.M Wiryakusuma, masing-masing diberi gaduhan tanah seluas 100 bahu.




Mulai berjuang

Dengan meningkatnya usia dan kesadarannya, maka R.M Suryakusuma ( Sahid ) merasakan nasibnya yang buruk menjadi berat. Perlakuan tidak adil dan sewenang-wenang yang dikenakan kepada ayahnya ( almarhum Pangeran Mangkunagara Kendang ) menggigit jantung pemuda R.M Suryakusuma. Akhirnya beliau mengambil keputusan : keluar dari istana Kartasura untuk berjuang, menentang pemerintahan Pakubuwono II, untuk merebut bagian dari kerajaan Mataram bagi diri pribadi. Beliau mengambil dua orang pembantu utama yang merupakan bahu kiri dan kanannya, ialah : Wiradiwangsa, pamannya sendiri berasal dari Nglaroh. Sutawijaya, anak almarhum Tumenggung Wirasuta yang tidak dapat mengganti kedudukan ayahnya, tetapi menerima banyak uang dan harta benda peninggalan ayahnya. Pada tahun 1742 terjadi kemelut di istana Kartasura. RM Said berhasil meloloskan diri ke Wonogiri bersama teman-temannya yang kemudian menjadi pasukan inti dan terkenal dengan sebutan Punggawa baku/inti.

Pemuda-pemuda Kartasura yang menggabungkan diri pada gerakan R.M Sahid, mula-mula ada 18 orang. Atas nasehat ki Wiradiwangsa, maka R.M Sahid beserta pembantu-pembantunya dan pemuda-pemuda pengikutnya berpindah ke Tanah Laroh, yaitu asal leluhur R.M sahid dari pihak neneknya bernama R. Ayu Sumanarsa. Disini belio mendapat simpati dari pihak rakyat sehingga dalam waktu yang tidak lama belio mempunyai pengikut banyak sekali. Segera diadakan peraturan secara organisasi perjuangan yang bai dan praktis, demikian : R.M Sahid menjadi pemimpin utama, Ki Wiradiwangsa diangkat menjadi pepatihnya, diberi gelar dan nama Kyai Ngabehi Kudanawarsa dan R.M Sutawijaya menjadi pemimpin pasukan tempur, diberi gelar dan nama Kyai Ngabehi Rangga Panambangan.
Pemuda-pemuda berasal dari Kartasura yang semula 18 orang banyaknya, kemudian bertambah menjadi 24 orang, merupakan barisan inti, disebut “ Punggawa “. Namanya diganti semua menjadi nama dengan permulaan : “ Jaya “ misalnya Jaya Panantang, Jaya Pamenang, Jaya Prawira dsb. “ Jaya “ artinya = sakti atau menang.
Tiap hari diadakan latihan perang, cara menyerang, menangkis dan membela diri. Tiap malam diadakan bermacam-macam latihan rohani misalnya : Menyepi ditempat-tempat yang gawat dan keramat, bertirakat, bertarak brata, mohon kepada Tuhan agar tercapai cita-citanya : ada pula yang merendam diri di sendang atau di dalam lubuk yang angker. Para pengikut R.M Sahid itu semua juga digembleng jiwa dan semangatnya dengan diberi wejangan-wejangan oleh para kyai antara lain oleh kyai Nuriman, modin di Laroh. Dengan demikian para pengikut R.M Sahid dalam waktu beberapa bulan saja sudah merupakan pasukan tempur yang digembleng jiwa raganya, sedang jumlahnya tidak sedikit. Mereka semua bersemangat tinggi, ingin selekas mungkin diajukan ke medan pertempuran. Dan kesempatan yang dinanti-nantikan mereka itu segera datang juga, ialah dengan adanya : Geger Pacina.
Diusia yang baru 17 tahun itu, beliau telah menyatakan perang terhadap kekuasaan Kumpeni dan Sunan Pakubuwana (PB) II. Beliau melatih sendiri para prajuritnya, baik laki-laki maupun wanita, mengangkat senjata dan menunggang kuda sehingga menjadi pasukan yang tangguh, tangkas, berani dan setia.
Kemudian setelah berdiam diri di Nglaroh artinya Ngelar Roh (Rohani), Punggawa baku ini bertambah menjadi 40 ditambah beberapa pemuda berasal dari sekitar Wonogiri antara lain Punggawa Baku yang dikenal juga dengan nama Punggawa Baku Kawandoso Joyo :
1.                 Kyai Kudanawarsa atau Kyai Ngabehi Rangga Panambangan sebagai
Patih
2.                 R.M Sutawijaya atau Ronggo Panambang sebagai Senopati perang
3.                 Jaya Prawiro
4.                 Jaya Puspito
5.                 Jaya Wiguno
6.                 Jaya Praboto
7.                 Jaya Utomo
8.                 Jaya Sentiko
9.                 Jaya Panantang
10.            Jaya Pamenang
11.            Jaya Dikromo
12.            Jaya Rencono
13.            Jaya Sentono
14.            Jaya Mursito
15.            Jaya Prabowo
16.            Jaya Yudo
17.            Jaya Tilarso
18.            Jaya Dento
19.            Jaya Widanto
20.            Jaya Suwalyo
21.            JayaLeyangan
22.            Jaya Suwito
23.            Jaya Diporo
24.            Jaya Sutarmo
25.            Jaya
26.            Jaya
27.            Jaya
28.            Jaya
29.            Jaya
30.            Jaya
31.            Jaya
32.            Jaya
33.            Jaya
34.            Jaya
35.            Jaya
36.            Jaya
37.            Jaya
38.            Jaya
39.            Jaya
40.            Jaya
Bergulirnya waktu R.M Said mendapat dukungan dan membentuk pasukan yang terdiri dari :

A.               BARISAN ULAMA
“Subhanullah Subhanullah Subhanullah Allahuakbar Allahuakbar Allahuakbar”.
Kalimat ini senantiasa dikumandangkankan RM.Said dimanapun beliau berada dan mulai mengangkat senjata bukan karena ingin menjadi raja, tetapi karena didorong oleh cita-cita luhur untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Mulat sariro hangrasa wani, melalui introspeksi diri yang terus menerus, maka akan menimbulkan keberanian untuk bertindak demi keadilan dan kebenaran. Bagi beliau, menjaga kebersihan batin adalah merupakan hal yang mutlak yang harus dilakukan dalam hidup ini. Para Kyai dan ulama tanpa ragu mendukung perjuangan beliau. Kyai Penambangan selalu berada disamping beliau dalam suka dan duka. Raden Penghulu, pimpinan ulama dari Bayat gugur ditembus peluru Belanda di saat bertempur bersama RM.Said. Pangeran Sambernyawa merupakan sosok pribadi yang tabah dan pemberani, tetapi penuh dengan welas asih.

B.               BARISAN PRAJURIT WANITA
Ada ungkapan “witing klapa Jawata ing ngarsa pada, salugune wong wanita dasar nyata”. Wanita adalah bagaikan dewi yang turun ke bumi. Keberadaannya di dunia ini harus dihormati. Mereka diibaratkan sebagai pohon kelapa yang kokoh, tetapi luwes. Prinsip-prinsip inilah yang dipegang oleh RM Said dalam memperlakukan para wanita. Di saat dunia masih mempermasalahkan kesetaraan gender, beliau telah membentuk pasukan wanita yang bertempur dengan gagah berani disamping para pasukan pria. Pasukan ini dinamakannya “Ladrang Mangungkung”, yang berarti Pasukan yang mengepung musuh hingga tak berdaya dan itu telah terbukti di berbagai pertempuran melawan VOC.
Sebanyak 144 di antara prajuritnya adalah wanita, terdiri dari satu peleton prajurit bersenjata karabin (senapan), satu peleton bersenjata penuh, dan satu peleton kavaleri (pasukan berkuda). Mangkunegoro tercatat sebagai raja Jawa yang pertama melibatkan wanita di dalam angkatan perang. Prajurit wanita itu bahkan sudah diikutkan dalam pertempuran, ketika ia memberontak melawan Sunan, Sultan dan VOC. Selama 16 tahun berperang, Mangkunegara mengajari wanita desa mengangkat senjata dan menunggang kuda di medan perang. Ia menugaskan sekretaris wanita mencatat kejadian di peperangan.

C.               PASUKAN PRIA
Rakyat Kerajaan Mataram adalah rakyat yang cinta damai, tetapi lebih cinta kemerdekaan. Hal ini terbukti sejak Sultan Agung Hanyakra Kusuma memimpin rakyatnya melawan penjajah. Semangat untuk melawan penindasan tersebut diwariskan kepada keturunan beliau yang bernama RM.Said. Para prajurit RM.Said bukanlah prajurit bayaran. Sebagian besar dari mereka adalah para petani, tukang penebang kayu, pemburu dan rakyat kecil lainnya. Mereka tergerak hatinya ketika mendengar pekik perjuangan yang dikumandangkan oleh RM.Said. Berjuang dan berjuang demi keadilan. Darah mereka tertumpah, dalam pertarungan demi pertarungan.
“Jer Basuki Mawa Bea, Rawe-Rawe rantas malang malang putung, ojo ngganggu gawe, marang kamardikan”.
Semua tujuan harus ditebus melalui pengorbanan dan segala yang penghalang untuk tercapainya kemerdekaan, akan tersapu".

D.               PRAJURIT TIONGHOA
Kemerdekaan adalah hak segala bangsa, perjuangan melawan penindasan  tidak mengenal sekat ethnis, suku dan agama. Pangeran Sambernyawa sangat memahami hal tersebut. Beliau berhasil mengajak seluruh masyarakat untuk “Hanebu Sa’uyun” Bersatu kokoh bagaikan seikat tebu melawan segala bentuk kejahatan. Bekas prajurit pendukung RM Garendri atau Sunan Kuning, seorang pemberontak yang berhasil menghancurkan benteng Kartasura pada jaman Sunan Pakubuwono I. Dengan menjebol  tembok benteng Baluwarti Kraton Kartasuro. RM Garendi masih cucu Amangkurat III dari garwo selir keturunan Cina.
Sejarah mencatat bahwa seluruh rakyat Mataram termasuk ribuan etnis Tionghoa dibawah kepemimpinan Kapitan Sepanjang dan Tan Sin Ko alias Sinshe, bersatu padu, bahu membahu, bersama RM.Said dalam berjuang mengenyahkan penjajah dari bumi Nusantara. Darah para pejuang laskar Tionghoa ini tumpah menggenangi bumi pertiwi, menyatu dengan darah saudara-saudaranya dari suku Jawa. Darah yang telah tergenang berbaur tanpa dapat dibedakan lagi, apakah itu darah Tionghoa atau darah Jawa.

E.               W A R O K
Pada saat RM.Said tiba didaerah Keduwang, Wonogiri, beliau bertemu dengan para pejuang yang gagah berani. Mereka menamakan dirinya sebagai warok. Mereka menyatakan keinginannya untuk mengikuti RM.Said berjuang melawan Kompeni. Kesaktian para pendekar ini telah terbukti dalam berbagai pertempuran.
“Suro Diro Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti” atau dalam bahasa jawa kuno “Sura sudira jayanikang rat, swuh brastha tekaping ulah dharmastuti”
Artinya : Bahwasanya, betapapun hebatnya seseorang, saktinya mandraguna kebal dari segala senjata, namun manakala dalam lembaran hidupnya selalu dilumuri oleh ulah tingkah yang adigang-adigung-adiguna maka pada saatnya niscayalah akan jatuh tersungkur dan lebur oleh ulah pakarti luhur atau Segala kesaktian akan pudar kalau tidak menyatu dengan kebaikan.
Geger Pecinan

Bertambahnya Etnis cina  yang tinggal di Betavi, mereka di beri pekerjaan oleh VOC. Karena mereka giat dalam bekerja. Sehingga pada tahun 1740 Gubernur Jenderal Valckeiner  memberikan keputusan untuk menangkapi semua orang cina, walau orang itu mempunya surat    tinggal sekalipun, harus di tangkapi semua dan di masukan penjara. Cina yang tidak mempunyai pekerjaan ajan dikirim ke Ceylon dipekerjakan di perkebunan.  Banyak yang  melarikan diri ke luar kota, yang masih tertinggal di dalam kota     membuat kerusuhan yang membuat Belanda ketakutan. Sehingga kerusuhan bukan hanya terjadi oleh orang-orang cina tetapi otang-otang jawa juga mulai memburu cina di batavia. Korban rumah di bakar 600, etnis Cina yang di bunuh 10.000 ditambah perintah Gubernur Jenderal Valckenier memerintahkan membunuh semua orang cina di penjara. Maka yang bisa lolos dari batavia banyak yang melarikan diri ke Mataram dan Semarang.
Di semarang dengan bantuan Paku Buwono II, yang simpati   memberi bantuan kepada orang – orang cina menghamcurkan benteng di Semarang. Dengan maksud menggunakan orang – orang etnis cina untuk mengusir Belanda.(Babad Tanah Jawa )

Pada bulan juli 1742 M terjadilah peristiwa “ Geger Pacinan “ dikeraton Kartasura. Dalam waktu satu malam saja istana Kartasura sudah dapat direbut oleh pasukan Cina-Jawa dibawah pimpinan R.M Garendi (Tai Wan Sui), cucu Sunan Amangkurat Mas III yang telah diasingkan oleh kompeni Belanda ke pulau Sailan pada tahun 1708 M. Ada yang  mengatakan beliau adalah anak Amangkurat III dengan selir keurunan Cina.  R.M Garendi tersebut oleh para pengikutnya diangkat sebagai raja Mataram yang syah, dengan gelar dan nama Sunan Amangkurat V. Nama RM garendi muncul menjadi tokoh pemimpin pemberontak, yang saat di angkat jadi pemimpin masih berusia sangat muda 12 tahun.
Pemberontakan ini berhasil merebut Keraton Kartasura pada bulan Juli 1742, dan Pakubuwono II lari ke Ponorogo.
Kenaikan Mas Garendi sebagai Raja Pemberontak yang diangkat oleh Komunitas Tionghoa dan berhasil merebut Keraton Kartosuro telah mengguncangkan sendi-sendi kekuasaan Kerajaan Mataram Islam. Tidak saja dari sudut politik, tetapi juga dapat dipandang dari sudut budaya.
Dari sudut politik menunjukan bahwa etnis cina mempunyai kekuatan dan mampu mengguncangkan pemerintahan jawa tradisional. Bahwasannya bilamana suatu kelompok atau etnis diinjak-injak harga dirinya atau ditekan sampai lapisan bawah akan mendatangkan suatu kekuatan yang dapat merubuhkan suatu negara. Dari sudut budaya telah terjadi perubahan bahwa bukan hanya orang jawa saja (Mataram) yang bisa menjadi pemimpin atau bukan hanya keturunan raja garis ayah (putera Mahkota ) yang bisa menjadi penguasa kerajaan.
Tanggapan terhadap pembantaian orang-orang Tionghoa juga ditunjukkan oleh Pakubuwono II. Banyak yang menganggap bahwa Keraton Mataram ini memanfaatkan konflik VOC dengan Tionghoa. Namun jelas bahwa dalam konteks keberanian melawan penjajah, respons Pakubuwono II ini merupakan langkah positif. Dan ini mungkin juga salah satu bentuk solidaritas Raja Mataram terhadap kelompok Tionghoa.
Sebenarnya di kalangan istana sendiri telah berkembang dua pendapat yang bersifat pro dan kontra terhadap rencana Pakubuwono II menyerang VOC dan bergabung dengan komunitas Tionghoa. Pandangan pertama seperti diutarakan kelompok Patih Natakusuma memilih melawan VOC sebagai sebuah langkah strategis dengan jalan bergabung dengan komunitas Tionghoa.
Kelompok lain dipimpin oleh penguasa daerah pesisir yang berpendapat bahwa dalam peperangan VOC dan Tionghoa, pada akhirnya akan dimenangkan oleh VOC. Maka mereka menganjurkan tidak perlu tergesa-gesa, sebaiknya menunggu sampai VOC terdesak dan meminta bantuan Mataram.
Dua pertimbangan itu menyebabkan Pakubuwono II sempat ragu-ragu. Namun pada akhir Raja Mataram ini lebih memilih pandangan yang pertama yakni segera melakukan penyerangan kepada VOC. Pada November 1741, Pakubuwono II mengirim pasukan dan artileri ke Semarang sebanyak 20.000 orang dan 30 pucuk meriam yang bergabung 3.500 orang Tionghoa mengepung Markas Besar VOC di Semarang. Selain itu,  Pakubuwono II juga menyerang pos VOC di Kartasura yang berhasil membunuh Kapten Johansen van Nelsen dan menghancurkan markas itu.
Dalam posisi sulit, akhirnya VOC mendatangkan bala tentaranya dari Batavia dan meminta bantuan Cakraningrat IV dari Madura. Mereka berhasil memukul mundur kepungan Tionghoa yang dibantu Mataram di Markas VOC Semarang. Bahkan Cakraningrat IV berhasil mengalahkan para pejuang Tionghoa di wilayah timur.
Setelah kekalahan itu, Pakubuwono II baru menyadari bahwa pilihannya untuk mendukung komunitas Tionghoa melawan VOC adalah sebuah tindakan yang keliru. Untuk itu Pakubuwono II segera memohon ampun kepada VOC. VOC mengabulkan dan mengirim utusan yang dipimpin Kapten Van Hohendorff ke Kartasura untuk melakukan perundingan. Sementara, Pakubuwono II mengirim juru runding yang dipimpin oleh Patih Natakusuma ke VOC Semarang, namun VOC menangkap Patih itu dan membuang ke luar negeri. Penangkapan dan pembuangan Patih Natakusuma ini atas seizin Pakubuwono II.
Perubahan sikap Pakubuwono II menimbulkan ketidakpuasan dari berbagai kalangan. Para pejuang anti VOC baik dari kalangan Jawa maupun Tionghoa merasa telah dikhianati oleh Raja. Situasi ini memunculkan perlawanan pejuang yang lebih hebat baik kepada VOC maupun Pakubuwono II. Bahkan beberapa pangeran istana yang tidak puas dengan Pakubuwono II pun bergabung dalam makar ini. Di antara mereka adalah Pangeran Mangkubumi (kelak menjadi Sultan Hamengkubuwono I) dan Raden Mas Said (kelak menjadi Pangeran Adipati Mangkunegara).
Isu perlawanan pun berubah dari anti VOC menjadi anti Pakubuwono II, maka sasaran penyerangannya adalah Keraton Pakubuwono II di Kartasura. Pada tahun awal 1742, para pemberontak itu mengangkat salah seorang pangeran cucu laki-laki dari Amangkurat III yang baru berusia 12 tahun yang bernama Mas Gerendi yang bergelar Amangkurat V atau lebih dikenal dengan sebutan Sunan Kuning. Sunan Kuning adalah sebutan sunan yang diangkat oleh komunitas Tionghoa.
Pemberontakan ini berhasil merebut dengan jalan menjebol tembok benteng Keraton Kartasura pada bulan Juli 1742, dan Pakubuwono II lari ke Ponorogo. Kenaikan Mas Garendi sebagai Raja pemberontak yang diangkat oleh Komunitas Tionghoa dan berhasil merebut Keraton Kartosuro telah mengguncangkan sendi-sendi kekuasaan Kerajaan Mataram Islam. Tidak saja dari sudut politik, tetapi juga dapat dipandang dari sudut budaya.
Bahkan kenaikan Mas Garendi itu dihubungkan dengan keyakinan orang Jawa terhadap Ramalan Jayabaya. Ramalan Jayabaya pernah meramalkan bahwa nanti “orang asing” akan memimpin Jawa “seumur Jagung”. Bahkan seorang intelektual Indonesia yang cukup rasional pun seperti Tan Malaka percaya dengan itu. ( Tan Malaka “Aksi Massa ”  yang terbit pertama kali pada tahun 1926di Singapura)

RM Garendi ( saat itu baru berusia 12 tahun ) mengangkat dirinya sebagai raja yang mendapat dukungan dari orang-orang Tionghoa, hal ini disebabkan karena sikap plin-plan yang mendua dari saudara Paku Buwono II, disatu sisi anti VOC namun disisi lain patuh pada perintah VOC dengan menangkap patihnya sendiri Pangeran Notokusumo untuk diserahkan ke VOC kemudian dibuang  ke Sri Langka (Cyelon).  Atas  perintah Paku Buwono II untuk membantu secara diam-diam pemberontakan orang Tiong Hoa di Semarang yang dipimpin oleh Tai Wan Sui.  Nama sebenarnya adalah Raden Mas Garendi dengan sebutan sebagai Sunan Kuning, merupakan anak Amangkurat III dengan selir perempuan Cina.
Berhasil mengusir raja Paku Buwono II dari keraton Kartosuro hingga lari ke Ponorogo, dalam mengisi kekosongan raja di Mataram maka Raden Mas Garendi dinobatkan sebagai Amangkurat V.  Namun akhirnya Paku Buwono II, meminta bantuan kepada VOC agar dapat kembali berkuasa, dengan dalih ini VOC dapat memperluas kekuasaannya hampir seluruh wilayah Jawa.
Dengan pasukan yang cukup besar Paku Buwono II dibantu oleh VOC dan Madura, melawan pasukan Amangkurat V dengan dukungan orang-orang Tionghoa dapat dikalahkan dan kemudian beliau ditangkap dan dibuang ke Sri Langka.
Sunan Pakubuwono II melarikan diri, mengungsi ke Ponorogo. Dari sini beliau minta bantuan kompeni di Jakarta. Bala bantuan segera datang dari Madura dibawah pimpinan P. Cakraningrat IV. Dalam bulan Desember 1742 Sunan Kuning, demikian nama julukan Sunan Amangkurat V, beserta semua pengikutnya diusir dari keraton Kartasura, lalu berpindah ke desa Randulawang, daerah Mataram.
Tapi di Ponorogo ini juga ditanda tangani perjanjian yang sangat merugikan Mataram. Beberapa daerah harus dilepas Sunan untuk di berikan ke VOC.

Bergabung dengan Sunan Kuning.

RM. Said dengan seluruh pasukannya bergabung dengan Sunan Kuning untuk mempraktekkan kecakapannya berperang bahkan diangkat menjadi panglima tentara Sunan Kuning bahkan diberi gelar Panglima Prangwadana Pamot Besur (April 1743).  Kala itu usia beliau 19 tahun.
Pada saat Sunan Kuning dikejar tentara Kompeni dan terpaksa bergeser kedaerah Keduwang – Ponorogo – Madiun – Caruban. R.Said mengikuti perjalanan Sunan Kuning lalu berpisah di Caruban kemudian Sunan Kuning bergerak ke Jawa Timur bergabung dengan keturunan Untung Suropati namun tak lama kemudian menyerah pada Kompeni dan berakhirlah geger pacinan tersebut.
Adapun P. Prangwardana ternyata mempunyai cita-cita lain dari Caruban beliau menuju ke barat menuju daerah Sukowati dimana oleh masyarakat setempat dia diangkat sebagai pimpinan dengan gelar Pangeran Adipati Anom Amangkunegoro Senopati Ing Ngalogo Sudibyaning Prang. Lalu bergerak terus ke Panambangan melalui Jati Rata, Mateseh dan Segawe. Namun disini beliau tidak kuat menghadapi serangan pasukan P. Mangkubumi atas perintah Paku Buwono II yang telah bertahta di Kartasura.
Pangeran Mangkubumi adalah adik Paku Buwana II yang berlainan ibu yang pada saat itu memenuhi seruan Paku Buwono II untuk membasmi peberontakan RM. Sahid dan Martapura. Untuk sementara Pangeran Mangkubumi berhasil meredam pemberontakan walaupun harus meloloskan RM. Sahid. Hal ini menimbullkan konflik dari dalam dimana  PB II yang tadinya menjanjikan tanah Sukowati bagi yang dapat menangkap RM. Sahid akhirnya mengingkari janjinya karena kelicikan Patihnya sendiri yaitu Pringgolaya.
Sehingga Pangeran Mangkubumi lari dan bergabung dengan Pangeran Mangkunegara untuk bergerilya melawan belanda. RM Said/P.Sambernyawa dinikahkan untuk yang kedua kali dengan Putri Pangeran Mangkubumi yang bernama Raden Ayu Inten (Bendoro)  dan bergelar Pangeran Adipati Mangkunegara Senapati Panoto Baris Lelana Adikareng Noto. Pertama menikah dengan Rubiyah  putri Kyai Kasan Nuriman di Matah (sekarang wilayah Selogiri, Wonogiri ). Mengenai pernikahan ini ada ceritanya.        
Menurut cerita yang berkembang di masyarakat, di dusun itulah Rubiyah putri Kasan Nuriman di lahirkan dan besar sampai bertemu RM Said. Saat lahir bernama Rubiyah dan pada saat itu nama Matah masih bernam Puh Kuning. Ayahnya seorang pemuka masyarakat yang di ceritakan sangat sakti bernama Kyai Kasan Nuriman.
Menurut cerita Kyai Kasan Nuriman pernah mengajak RM Said bertapa saat singgah dalam perjalanan perjuangannya melawan tentara Belanda di dusun tersebut. Namun pertemuan antara RM Said dengan Rubiyah tidaklah semudah yang dibayangkan orang. Pertemuan RM Said dan Rubiyah kali pertama terjadi pada acara pertunjukan wayang kulit di kampung Bantengan di timur Gunung Mijil, tak jauh disebelah utara Dusun Puh Kuning ( Matah ). Kampung Bantengan ini sekarang masuk wilayah kelurahan Kaliancar Selogiri.
Saat menonton pertunjukan wayang kulit tersebut, RM Mas Said atau Pangeran Sambernyawa melihat seorang perempuan cantik jelita dengan wajah yang bersinar maka kemudian RM Said menyobek kain wanita itu di tepinya sebagai pertanda, sewaktu ketiduran karena kelelahan menonton wayang. Karena penasaran Pangeran Sambernyawa kemudian memerintahkan prajuritnya mencari perempuan dengan penanga tersebut dengan maksud hendak dijadikan istri.  Cerita ini saya dapat dari mbah Pardi (Supardi, abdi dalem juru kunci Pura Mangkunegaran yang juga dipasrahi ngurusi petilasan P.Sambernyawa. Sendang Siwani).
Setelah menemukan perempuan itu ternyata adalah puteri Kyai Kasan Nuriman, RM Said/ Pangeran Sambernyawa meminta izin menikahinya, setelah menikah digantilah nama Rubiyah puteri Kyai Kasan Nuriman menjadi Raden Ayu Patah Hati atau Matah  Ati, dan dusun tempatnya tinggal di ganti namanya menjadi dusun Matah. Tempatnya di atas Sendang Siwani Krisak, Selogiri, Wonogiri. Diambil nama Patah Hati atau Matah Ati (dlm bhs jawa) karena untuk mengingatkan kekecewaannya pada nasipnya sebagai pangeran yang harus hidup terlunta-lunta karena pokal Patih Danurejo.
RM Said maupun Raden Ayu Patah Hati sangat di hormati oleh penduduk setempat dan dianggap sebagai tokoh pendiri Kabupaten Wonogiri. Maka Raden Ayu Patah Hati sendiri ada di Gunung Mijil dan makam ayahnya Kyai Kasan Nuriman ada di dusun Karangtengah, Desa Jaten, Selogiri. Pada malam-malam tertentu selalu menjadi tempat ziarah berbagai kalangan Masyarakat.

Nama Mangkunegara ini diambil dari nama ayahnya Arya Mangkunegara yang ditangkap Belanda dan dibuang ke Srilangka, karena menentang kekuasaan  Amangkurat IV (Paku Buwana I) karena latar belakang inilah RM Said sangat berkobar melawan belanda. Kehidupan Mangkunegara dihutan dan berpindah-pindah. Hingga pada saatnya PB II meninggal dunia dan kesempatan ini digunakan untuk mengangkat Mangkubumi menjadi raja di Mataram Ngayogyakarta dengan patihnya Mangkunegara (1749) tetapi pemerintahan di Yogyakarta tidak diakui oleh Kumpeni / Belanda. Sedangkan oleh Belanda putra pangeran yang bernama Pangeran Adipati Anom  diangkat sebagai raja dengan gelar PB III di Mataram Surakarta. Selama sembilan tahun bersama Mangkubumi akhirnya Mangkunegara berselisih paham juga dan berpisah akhirnya berjuang sendiri dipedalaman yogyakarta dan sekitarnya. Perseteruan dua keturunan mataram yang sama-sama mengaku raja Mataram antara Mangkubumi dan Adipati Anom akhirnya dibawa oleh belanda dalam suatu Traktat perjanjian yang bernama Perjanjian Giyanti(1755) dan hasilnya adalah membagi 2 wilayah Mataram yaitu bagian timur dengan nama Mataram Surakarta Hadiningrat dengan raja Sri Susuhunan Paku Buwana III dan bagian barat  bernama Mataram Ngayogyakarta Hadiningrat dengan raja  Mangkubumi dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwono Senopati Ngalogo Abdurrahman Sayidin Panotogomo. Sedangkan Mangkunegara kini harus berperang melawan 3 kekuatan yaitu dari Yogyakarta, Surakarta dan pasukan Belanda (VOC). Menurut riwayat perang Mangkunegara yaitu:

1.     Setahun (1741-1742)  bergabung dengan Laskar cina ,
2.     Sembilan tahun (1743-1752) bergabung dengan Mangkubumi.
3.     Empat tahun ( 1752 – 1756 ) berjuang sendiri sampai mendirikan Kadipaten Mangkunegaran.
Dalam masa itu Pangeran Mangkunegara telah melakukan pertempuran sebanyak 250 kali dan berkali-kali Pangeran Mengkunegara lolos dalam penyergapan, keberhasilan membina pasukan yang militan sangat ditakuti sehingga mendapat julukan “Pangeran Samber Nyawa “, Julukan Pangeran Sambernyawa diberikan oleh Nicolaas Hartingh, gubernur VOC, karena di dalam peperangan RM. Said selalu membawa kematian bagi musuh-musuhnya.
Tak kurang dari Gubernur Direktur Jawa, Baron van Hohendorff, yang berkuasa ketika itu, memuji kehebatan Mangkunegoro. “Pangeran yang satu ini sudah sejak mudanya terbiasa dengan perang dan menghadapi kesulitan. Sehingga tidak mau bergabung dengan Belanda dan keterampilan perangnya diperoleh selama pengembaraan di daerah pedalaman.

Dalam buku harian Mangkunegara disebutkan ada dua pertempuran besar yaitu :
1.     Pertempuran di desa Sitakepyak selatan Rembang . pasukan musuh sebanyak 600 tewas  yang dilukiskan seperti semut yang berjalan tiada henti sedangkan prajuritnya yang tewas hanya 3 orang 29 luka-luka.(1756) . dalam perang ini tercatat oleh belanda telah melakukan serangan gabungan yaitu 200 serdadu belanda, 400 pasukan Kesultanan Yogyakarta dan 400 Pasukan Surakarta. Bahkan kapten Ban Der Poll tewas terpenggal kepalanya dengan tangan kirinya di sambar oleh Pangeran Sambernyawa dan di berikan kepada selir Mbok Ajeng Wiyah selirnya sebagai tanda cinta Mangkunegara.
2.     Perang besar kedua yaitu di hutan dekat Blora pada tahun 1757. keganasan pasukan belanda yang menyerang dan menjarah harta orang desa membuat marah Sambernyawa yang akhirnya menyerang balik Kraton Yogyakarta dan mendudukinya hingga malam, bahkan patihnya yang bernama Joyosudirgo dipenggal kepalanya. Kejadian ini membuat marah pamanya atau mertuanya Mangkubumi dan menghadiahkan siapa saja yang berhasil membunuh Sambernyawa akan di bayar 500 real.

Dalam Babat Giyanti (Pujangga Yasadipura I), ketika RM. Sahid menobatkan diri sebagai raja Jawa dengan gelar Sunan Adiprakosa Senopati Ngayuda Lelana Jayamisesa Prawira Adiningrat, serta duduk disinggasana dan dihadapan bala tentaranya tersambar petir dan terkena dampar tahtanya hingga remuk beliau jatuh pingsan diatas lantai namun tidak wafat hal ini tidak masuk akal jikalau ada seorang duduk diatas kursi lalu disambar petir seharusnya beliau pun ikut hancur. Dalam peristiwa tersebut Kyai Tumenggung Kudanawarsa segera menolongnya dan menunjukkan mengapa ini bisa terjadi, yaitu : kesombongan beliau atas pemberian gelar raja Jawa yang sebetulnya belum selayaknya disandang dengan kenyataan inilah dia berganti gelar Pangeran Arya Mangkunegoro (1746). Peobatan itu sendiri di desa Mantenan, Nglaroh, Selogiri.
Kejadian tersebut disusul dengan peristiwa dimana markas besarnya di Panambangan diserbu dan diduduki Kompeni yang dipimpin Mayor Van Hohendorff  serta Patih Pringgolaya dari Paku Buwono II bahkan begeser ke Ngepringan – Pideksa – Tirtamaya – Keduang – Girimarta – Nggabayan(Honggobayan) – Druju – Matesih – hingga sampai didesa padepokan Samakaton bahkan waktu di daerah Ngepringan sang pangeran hampir terbunuh bahkan sempat berpisah dari keluarga dan pasukannya mendaki bukit dan turun gunung bersama Kyai Kudanawarsa dan Kyai Surawijaya. Di Pedepokan Samakaton tinggal 2 pertapa kakak beradik namanya Ki Ajar Adisana dan Ki Ajar Adirasa. Beliau berguru pada keduanya dan diberi wejangan yang intinya  :
1. Kyai guru tersebut menunjuk kesalahan Pangeran Sambernyawa/ Mangkunegara atas kesombongannya
2.     Kedua beliau mendapat hukuman dari Ilahi
3.     Beliau harus bertobat secara mendalam
4.     Beliau hendaknya mencontoh Panembahan Senopati Ing Ngelogo Mataram dan pada Pamannya Pangeran Mangkubumi
5.   Beliau diuji menjalankan laku – dan bertapa selam 7 hari-malam tanpa makan dan minum seorang diri di Gunung Mangadeg.
Menurut Babat Giyanti dalam pertapaannya terjadi sesuatu keajaiban yaitu mendapat pusaka secara gaib berupa satu tombak vaandel yang bernama Kyai Budho dan satu kerangka tambur bernama Kyai Slamet yang menunjukkan simbol kejayaan.
Dibagian lain Pujangga Yasadipura I memaknakan fenomena di Samakaton ini dengan mengkiaskan maksud pendidikan moral – mental yaitu :
1. Samakaton
2. Adisana
3. Adirasa
4. Mangadeg
5. Vaandel (tombak)
6. Kerangka tambur,
Artinya adalah :
1.   Samakaton artinya kesemua hal dapat terlihat apabila manusia mau datang menyepi ditempat yang indah
2.    Adisana artinya tempat yang indah, apabila manusia berani laku menyepi di tempat yang indah itu akan mendapatkan rasa ynag indah pula yang akhirnya menimbulkan kemurnian dihati nuraninya
3.     Adirasa artinya rasa yang indah.
Dalam hal 1, 2, 3 tersebut diatas kenyataannya apabila manusia sanggup berdiri (mangadeg – mendirikan Imannya) kepada Yang Maha Kuasa seperti tegaknya vaandel tersebut.
4.     Tombak atau Vaandel simbol kejayaan apabila ditambahkan dengan rasa suci, sunyi, kosong, kang Hamengku Hana (ada) yang dinisbatkan dengan :
5.     Kerangka tambur digunung Mangadeg tersebut.
Setelah mendapatkan ilafat baik tersebut beliau menuju ke markas besar pamannya  (Pangeran Mangkubumi dai Jekawal – Sragen Utara ) untuk menggabungkan diri dan memohon perlindungan pamannya walaupun dalam perjalannya menemui banyak kesukaran karena ada pengumuman dari kompeni yang apabila dapat menangkapnya hidup atau mati akan mendapat hadiah pangkat dan uang. Dikisahkan dalam pertemuan dengan pamannya tersebut beliau diterima baik oleh pamannya bahkan diberikan bantuan seperangkat senjata dan prajurit untuk kembali kemarkasnya di daerah Gumantar.
Baik pada masa perjuangan bersenjata maupun sebagai Kepala Pemerintahan Praja Mangkunagaran beliau dikenal sebagai : ahli strategi, politikus, negarawan, ekonom kerakyatan yang ulung, dan berwawasan jender. Hal ini dibuktikan dengan memberi peran di berbagai bidang kepada perempuan antara lain menjadi prajurit yang handal. Beliau seorang pemimpin yang sangat religius, muslim sejati. Beliau juga telah menulis Al-Quran 30 juz sampai delapan kali.


BAB III

Berpisah dengan Pangeran Mangkubumi
.           Setelah selama sembilan tahun berjuang bersama melawan kekuasaan Mataram dan VOC, Pangeran Mangkubumi yang sudah menjadi Sultan Yokyakarta Adiningrat dengan gelar  Kanjeng Susuhunan Pakubuwono Senopati Ngaloka Abdurrahman Sayidin Panotogomo . Penobatan ini terjadi pada “tahun Alip” 1675 (Jawa) atau 1749 Masehi. Akhirnya berselisih paham dengan Pangeran Mangkunegara, pangkal konflik bermula dari wafatnya Paku Buwono II. Menurut babad tanah jawa Pangeran Mangkunegara menginginkan menjadi sunan sendiri (Babad Tanah Jawa Perangan Kang Kaping Pindho BAB 11, L Van Rijckevorsel, 1925 )
Paku Buwono II sebelum wafat  menyerahkan tahta Mataram kepada Belanda. Hal ini juga karena kelicikan Belanda yang pada saat sakitnya Paku Bowono II parah di Semarang menyerahkan surat untuk memberikan kekuasaan VOC ( Belanda) untuk mengangkat raja baru di Mataram Surakarta. Sehingga Pangeran Adipati Anom,  putera Mahkota Paku Buwono II, dinobatkan sebagai raja Mataram oleh Belanda, dengan gelar Paku Buwuno III, pada akhir 1749. Sunan baru ini tidak mempunyai jiwa yang   teguh, dia lemah karena diangkat Belanda, sehingga kedudukannya hanya sebagai vasal Belanda. Pakubuwana III merupakan raja yang sangat tunduk kepada VOC. Setiap keputusan VOC selalu diterimanya dengan patuh karena perasaan ketergantungannya terhadap bangsa Belanda itu. Kelemahan politik Pakubuwana III menyebabkan keadaan istana tegang. Muncul komplotan-komplotan yang berusaha mengendalikan pemerintahannya. Suasana tegang ini berlangsung sampai kematiannya tanggal 26 September 1788.
Pakubuwono III nama aslinya adalah Raden Mas Suryadi, putra Pakubuwana II yang lahir dari permaisuri putri Pangeran Purbaya Lamongan (putra Pakubuwana I). Pakubuwana III naik takhta Surakarta tanggal 15 Desember 1749 menggantikan ayahnya yang sakit keras di Semarang.  Beliau  dilantik sebagai raja oleh Baron von Hohendorff gubernur pesisir Jawa bagian timur laut, yang mewakili VOC. Pakubuwana III melanjutkan Perang Suksesi Jawa III menghadapi pemberontakan Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said. Pemberontakan Mangkubumi ini telah meletus sejak tahun 1746. Pihak pemberontak sendiri telah mengangkat Mangkubumi sebagai raja dan RM Said sebagai patih tanggal 12 Desember 1749 di markas besar mereka, yaitu bekas daerah lama Mataram.
Mangkunegoro diangkat sebagai Patih –perdana menteri– sekaligus panglima perang dan dinikahkan dengan anak Pangeran Mangkubumi yang bernama  Raden Ayu Inten, kemudian diganti namanya menjadi Kanjeng Ratu Bandoro. Dalam upacara penobatan itu, Mangkunegara berdiri di samping Mangkubumi. Dengan suara lantang ia berseru :

“Wahai kalian para Bupati dan Prajurit, sekarang aku hendak mengangkat Ayah Pangeran Mangkubumi menjadi raja Yogya Mataram. Siapa dia antara kalian menentang, akulah yang akan menghadapi di medan perang”

Meski demikian, pemerintahan Mataram Yogyakarta berpusat di Kotagede itu tidak diakui Belanda.
Sebenarnya penobatan raja baru itu tidak perlu pengakuan dari Belanda, karena kerajaan baru itu bukan vasal atau kedudukannya lebih rendah dari Belanda. Bila kita menengok sejarah kerajaan-kerajaan jawa, tidak ada atau tidak harus ada pengakuan dari negara lain. Tapi pengaku dari ulama dan rakyat daerah yang merupakan warga negara kerajaan.
Jadi jelas disini bahwa yang menjadikan Pangeran Mangkubumi menjadi raja bukan Belanda atau atas usaha Pangeran sendiri tetapi karena Pangeran Sambernyawa yang menjadikan beliau raja dengan wilayah yang sudah berhasil dikuasainya, baru kemudian pada perjanjian Giyanti Belanda mengakui pangeran mangkubumi sebagai raja yang berdaulat tetapi tetap dibawah kuasa Belanda. Karena dalam perjanjian Pangeran Mangbumi harus bersedia memerangi musuh Belanda. Dalam hal ini Pangeran Sambernyawa.
Pada tahun 1752 terjadi perpecahan antara Mangkubumi dan Mas Said.Pokok persoalan Pangeran Mangkubumi mengadakan perjanjian dengan pihak VOC yang segera menawarkan perdamaian dengan Mangkubumi sejak 1754. Perundingan-perundingan berakhir dengan kesepakatan.
Gubernur Hastingh berusaha menemui Pangeran Mangkubumi dengan perantara Syeh Ibrahim atau Tuan Sari Besar. Pertemuan antara pangeran Mangkubumi dengan Gubernur N Hastingh berhasil terjadi pada hari Ahad 22 September 1754. Menurut Register Harian N Hartingh disebutkan bahwa kedatangan N Hastingh bersama kapten Donkel, di jemput oleh Pangeran Adipati Anom, Tumenggung Ronggo dan Tumenggung Mondoroko yang dikawal 200 prajurit, di hantarkan menuju Pesanggrahan pangeran Mangkubumi (di jaga 7000 prajurit ). Sedang Pangeran Mangkubumi dikawal oleh pangeran Adipati Anom, Pangeran Hangabehi, Pangeran Notokusumo, dan Tumenggung Alap-alap,Tumenggung Ronggo, Tumenggung Mondoroko dan Tumenggung  Brojomusti.
Selanjutnya diadakan pertemuan terbatas antara Pangeran Mangkubumi dan N Hasting. Pangeran Mangkubumi di dampingi Pangeran Notokusumo  dan Tumenggung Ronggo. Sedang Pihak N Hasting didampingi Breton, Kapten Van Donkel dan sekretarisnya Fockens. Pendeta Bastani sebagai juru bahasanya.
Perundingan dilanjutkan tanggal 23 September 1754 dengan keputusan :
Berdasarkan perundingan 22-23 September 1754 dan surat persetujuan Paku Buwono III maka pada 13 Februari 1755 ditandatangani 'Perjanjian di Giyanti yang kurang lebih poin-poinnya, seperti dikemukakan Soedarisman Poerwokoesoemo, sebagai berikut:
1.     Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo Kalifattullah di atas separo dari Kerajaan Mataram, yang diberikan kepada beliau dengan hak turun temurun pada warisnya, dalam hal ini Pangeran Adipati Anom Bendoro Raden Mas Sundoro.
2.     Akan senantiasa diusahakan adanya kerjasama antara rakyat yang berada dibawah kekuasaan Kumpeni dengan rakyat Kasultanan.
3.     Sebelum Pepatih Dalem (Rijks-Bestuurder) dan para Bupati mulai melaksanakan tugasnya masing-masing, mereka harus melakukan sumpah setia pada Kumpeni di tangan Gubernur.Intinya seorang patih dari dua kerajaan harus dikonsultasikan dengan Belanda sebelum kemudian Belanda menyetujuinya.
4.  Sri Sultan tidak akan mengangkat/memberhentikan Pepatih Dalem dan Bupati, sebelum mendapatkan persetujuan dari Kumpeni.Pokok pokok pemikirannya itu Sultan tidak memiliki kuasa penuh terhadap berhenti atau berlanjutnya seorang patih karena segala keputusan ada di tangan Dewan Hindia Belanda.
5.  Sri Sultan akan mengampuni Bupati yang selama dalam peperangan memihak Kumpeni.
6.  Sri Sultan tidak akan menuntut haknya atas pulau Madura dan daerah-daerah pesisiran, yang telah diserahkan oleh Sri Sunan Paku Buwono II kepada Kumpeni dalam Contract-nya pada tanggal 18 Mei 1746. Sebaliknya Kumpeni akan memberi ganti rugi kepada Sri Sultan 10.000 real tiap tahunnya.
7.     Sri Sultan akan memberi bantuan pada Sri Sunan Paku Buwono III sewaktu-waktu diperlukan.
8.   Sri Sultan berjanji akan menjual kepada Kumpeni bahan-bahan makanan dengan harga tertentu.
9.     Sultan berjanji akan mentaati segala macam perjanjian yang pernah diadakan antara raja-raja Mataram terdahulu dengan Kumpeni, khususnya perjanjian-perjanjian 1705, 1733, 1743, 1746, 1749.
Surat Perjanjian Giyanti

Perjanjian Giyanti tanggal 13 Februari 1755. Perjanjian tersebut berisi pengakuan kedaulatan Pangeran Mangkubumi sebagai raja Mataram yang menguasai setengah wilayah kekuasaan Pakubuwana III. Pangeran Mangkubumi pun bergelar Hamengkubuwana I yang membangun istana baru bernama Yogyakarta Adiningrat tahun 1756 sebagai pusat kerajaan Mataram. Merupakan perjanjian yang sangat ditentang oleh RM Said karena bersifat memecah belah rakyat Mataram.
Sebab-sebab Perpecahan ada beberapa :
1.     RM Said berkeinginan menjadi raja sendiri
2.     Persekutuan Pangeran Mangkubumi dengan Belanda
3.   Ditariknya istrinya Raden Ayu Inten / kanjeng Ratu Bandoro oleh Pangeran Mangkubumi
4.    Menganggap dua raja Yokyakarta Adingrat  dan Surakarta Adiningrat  sebagai Raja Boneka/antek Belanda
Pandangan dan keyakinan R.M. Said /Pangeran Sambernyawa / P. Mangkunagara yang meletakkan Be­landa sebagai musuh yang harus diperangi dapat dilihat ketika Pangeran Mangkubumi berontak terhadap Belanda. Pada saat itu R.M. Said mau bergabung dan sepenuhnya bahu-membahu men­dukung perjuangan Pangeran Mangkubumi. Karena mempunyai tujuan dan alasan yang sama, tujuan mengenyahkan Belanda dari Mataram. Alasannya sama-sama di buat sakit hati oleh Pemerintahan Kartasura dan Belanda.
 Namun ketika P. Mangku­bumi menuruti keinginan Belanda dan kemudian diberi kekuasa­an di Yogyakarta. Melalui perjanjian Giyanti antara Belanda dan pangeran Mangkubumi, Sedang Sunan Paku Buwono tidak bisa berbuat apa-apa karena nerasa tidak mempunyai kekuatan sama sekali, hanya pasrah. Perjanjian ini dilakukan pada tanggal 13 Februari 1755. Di desa Giyanti Salatiga. Secara tegas R.M. Said memisahkan diri. Hal tersebut dinyatakan R.M. Said sebagai berikut :

Tahun je den sengkalani; ponang Liman (8), Lan Turangga (7) , Angrasa (6) Wani (1), Kangjeng-Pangeran Dlpatya, Arya Amengkunagoro, sampun nekad karsarnipun, pisah lan rama sang nata.

Terjemahannya :
Tahun je di beri Sengkalan : Ponang Liman (8), Lan tutangga (7), Angrasa (6) Wani (1). Kamjeng pangeran ...........Arya Amengkunagara, sudah bertekat bulat hatinya, untuk berpisah dengan Ayah Mertuwanya yang Raja Ngayokyakarta Adiningrat.

Pada tahun Je 1678 J/1752 M, ‘Kangjeng Pangeran Arya Amengkunagoro sudah bertekad bulat untuk berpisah dengan ramanda Sang Raja Ma­taram` (BL, Asmaradana, 50: 248).
Pemisahan tersebut tentunya terpaksa diambil oleh R.M. Said, karena tidak saja P. Mangku­bumi telah mengingkari janjinya sendiri, tetapi yang lebih prinsip adalah P. Mangkubumi mau bekerja sama dengan Belanda demi kepentingannya sendiri. Perilaku tersebut jelas tidak sesuai de­ngan karakter seorang satria, terlebih dilihat dari prinsip per­juangan dan filosofi Islam yang selama itu diyakini kebenarannya oleh R.M. Said. Pengingkaran terhadap prinsip perjuangan tersebut akhirnya mengingatkan R.M. Said akan perilaku P. Mangkubumi terhadap P. Puger sebagaimana laporan utusan P. Puger ketika P. Mangku­bumi berbalik menyerangnya :

Gusti kula ingutus, mring- pun paman Puger kang nudin-, kang rumiyin katura, salam taklim­pun, lan malih atur uninga, yen ing- mangke Pangraning Mangkubumi  awangsu ing-kang karsa:

Terjemahannya :
Gusti (R.M. Said) kawula di­utus pamanda Panembahan Puger, teriring salam taklim beliau pada Pangeran, dan memberitahukan, selanjutnya kami diperintahkan untuk melapor bahwasanya Pangeran Mangkubumi sekarang telah berbalik pen­diriannya, memerangi Pangeran Puger’ (BL, Asmaradana, 9: 23).

Itulah sebabnya, secara tegas R.M. Said memisahkan diri dari Pangeran Mangkubumi, karena Pangeran Mangkubumi/ Habengkubuwono I dianggap sebagai pemim­pin yang tidak dapat dipercaya.
Konsekuensi pemisahan tersebut mau tak mau R.M. Said menempatkan Pangeran Mangkubumi sebagai orang yang harus di­perangi. Keputusan ini tidak hanya berlaku untuk Pangeran Mangku­bumi, tetapi juga pada Sunan Paku Buwono III yang menyetujui kerja sama dengan Belanda.
Keputusan Pangeran Mangkubumi untuk menerima tawaran perdamaian dengan Belanda, menyudutkan posisi RM Said akan perjuangannya untuk membebaskan dan menyatukan Mataram dalam satu pemerintahan dan melemahnya semangat Pangeran Mangkubumi untuk mengusir Belanda dari Mataram. Dilihat dari sudut bergabungnya Pangeran Mangkubumi dalam perjuangan RM Said, hanya menggunakannya sebagai kendaraan untuk mengambil keuntungan dengan menjadikan dirinya menjadi penguasa. Walaupun itu hanya akan mendapat separuh dari kerajaan Mataram.
Walaupun perjanjian yang dibuat Belanda yang terkenal de­ngan Perjanjian Giyanti intinya adalah pemberian kekuasaan, secara tersirat kedua raja tersebut harus mau membantu Belanda memerangi musuh-musuhnya. Dengan demikian kedua raja Yokyakarta Adiningrat dan Surakarta Adiningrat menjadi bawahan Belanda secara tidak langsung. Di antara musuh-musuh yang dianggap sangat merugikan adalah R.M. Said. Dari sudut pan­dang R.M. Said sendiri, kedua raja yang juga pamannya, karena mau bekerja sama dengan Belanda,  maka mereka sebenarnya tidak lebih dari antek Belanda itu sendiri. Karena itu, mati melawan mereka ditempatkan R.M. Said sebagai seorang pejuang yang mati syahid. Penegasan terhadap pandangan ini dapat dilihat pada bait berikut :

Sawab aku wus anekad tur aderah,
batur kabeh suntari
yen tresna maring wang
mgsun tedha mring Allah,
barenga mati lan mami;
saure _kukila,
sadaya kang prajurit. (BL, Durma, 14: 257)

Terjemahannya :
‘Aku telah bertekad bulat,
 tidak ada pilihan lain mati atau mukti,
kalian prajuritku semua,
jika kalian semua cinta kepadaku dan kepada Allah,
marilah kita bersama bertempur mati-matian sampai titik darah penghabisan,
andaikata aku gugur di medan laga, mari kita gugur bersama, gugur di haribaan Allah,
segenap prajurit menyatakan kesanggupannya’.

Kalimat ingsun tedha mring Allah jelas menyiratkan bahwa perjuangan tersebut merupakan perjuangan suci. Perjuangan yang disandarkan sepenuhnya kepada kekuasaan Allah. Jika beliau harus mati, maka R.M. Said akan menerimanya dengan ikhlas, karena menurutnya semua perjuangan yang dilakukan meru­pakan suratan dari Allah. Pasrah dan ikhlas kepada Allah bukan berarti sikap putus asa, karena konsep pasrah dan ikhlas yang dikembangkan adalah dalam pengertian dinamis, yang dilandasi usaha keras dan keyakinan kuat sehingga jauh dari pengertian fatalistik/isme (takdir bukan karena nasip). Konsep seperti ini secara tidak langsung juga menyirat­kan bahwa upaya perjuangan dan landasan kerja tidaklah untuk menonjolkan diri atau mementin.gkan ambisi pribadi, melainkan lebih pada konsep kebersamaan dan kesejahteraan umat yang bersandar pada satu keyakinan yang kuat bahwa semua perju­angan adalah sesuai dengan kebenaran Islam. Hal tersebut seba­gaimana yang selalu ditekankan R.M. Said kepada semua Punggawa Bakunya dan para Prajuritnya :

Dyan Pangeran Adipati Mangkunegara,
Ikhlas .manah kang wening,
tan ana katingal,
nanging- Allah .kang- mulya,
rzganchka Pangran Dipati
prajuritira, wong-jero para mantrL (BL, Durma, 45: 260)

Terjemahannya :
Kata Pangeran Adipati Mangkunegara,
Iklas hati yang jernih suci,
Tidak akan terlihat
Tapi Tuhan yang Suci akan tahu semuanya,
Paman Pangeran Dipati (putra mahkota)
Prajuritnya, orang dalam para Mantri / punggawa (BL, Durma, 45 : 260 )

Kata Pangeran Adipati (RM Said) kepada para prajurit mantri-lebet, bahwa kalah menang dalam perjuangannya harus didasari hati yang ikhlas, dan kepercayaan penuh, semuanya diserahkan kepada ke­hendak Allah, hanya kepada Allah-lah kita menyerahkan diri dan berlin­dung’.
Filosofi seperti inilah yang setiap saat ditanamkan R.M. Said kepada setiap prajuritnya manakala akan menghadapi peperang­an. Baik dalam keadaan terdesak maupun dalam meraih keme­nangan, R.M. Said selalu mengingatkan bahwa perjuangan yang dilakukan hanya semata-mata karena Allah. Karena itu, mati dalam perjuangan yang dilakukan adalah mati membela kebe­naran agama Allah, mati di jalan Allah, mati dalam perang sabil, yang berarti mati syahid.
Tujuan paling utama perjuangan P. Sambernyawa atau RM Said adalah mengusir Belanda dari bumi Mataram dan menyatukan kembali Mataram menjadi satu pemerintahan (Pringgodigdo, 1950: 9). Perjalanan perjuangannya selama 16 tahun dan 250 pertempuran melawan Belanda merupakan bukti bahwa R.M. Said merupakan tokoh yang kokoh terhadap prinsip, pantang menyerah, bahkan sampai akhir per­juangannya tidak pernah dapat ditangkap Belanda. Dengan berbekal tekad dan semangat “ tiji tibèh, yang merupakan kependekan dari mati siji, mati kabèh; mukti siji, mukti kabèh “ (gugur satu, gugur semua; sejahtera satu, sejahtera semua). Dengan motto ini, rasa kebersamaan pasukannya terjaga dalam semangat untuk mengusir Belanda dari tanah Mataram.
 Konsep kepemimpinan Bangsawan keturunan Mataram. Konsep kepemimpinan yang harus dikuasai oleh keturunan Ma­taram merupakan wulang-wulang dari Sultan Agungan (Sastra gendhing) atau guidance bagi setiap Satria Trah Mataram.

Dandanggula :

1.     Kawignyane Wong- Agung puniki pan sedasa warn yen tan bisa, nistha kuciwa dadine, dhihin karem ing ngelmu, kaping ­kalih bisa angaji ,  ping tiga bisa maca, ping sakawanipun, kudu alul anenurat, kaping lima wig-nya anitih turanggi,  ping neme bisa begsa.

Terjemahannya :
‘Apa yang digolongkan Orang Agung (trah Mataram) itu, haruslah memiliki sepuluh kemampuan dasar, jika tidak  menguasainya pastilah akan menjadi satria yang nista dan mengecewakan, pertama harus berilmu (senang menun­tut ilmu),
a.     kedua dapat membaca Kur’an,
b.     ketiga bisa membaca (selain Kur’an),
c.      keempat harus pandai menulis (menga­rang),
d.     kelima mempunyai ketangkasan naik kuda,
e.      keenam pandai menari’.

2.     Ping pitune kudu wruh ing- gendhing, kaping wolu apan kudu bisa, tembung kawi tembang gedhe, ping sanga bisa iku, olah yudha gelaring jurit, wignya angadu bala, ping sadasanipun,limpat pasanging grahita, wruh sasmita traping kramaniti ; wruh saniskareng- basa.

Terjemahannya :

a.   Ketujuh harus pandai menghayati (memahami dan memain­kan) gendhing,
b.  kedelapan harus mampu dan paham tem­bang gedhe dan kata-kata bahasa Jawa Kuno,
c.   kesembilan harus menguasai ilmu dan siasat perang,
d.  kesepuluh dia harus tanggap akan perubahan jaman, tahu akan sopan santun, adat, dan tata-krama’.

Jadi bisa kita rangkum menjadi 3 aspek :
1.     Berhubungan dengan agama, bahwa manusia Mataram atau keturunan            Mataram di haruskan memiliki keyakinan yang di dasarkan (Islam).
2.     Moralitas pada hakikatnya mengarah kepada pembentukan moralitas dan         kepribadian (character building)pemimpin trah Mataram
3.     Budaya dalam kon­teks ini, seorang pemimpin trah Mataram tidak hanya           sekedar dituntut mampu menguasai, memahami, memainkan, dan men­ciptakan karya seni seperti halnya gending. Lebih jauh dari pengertian tersebut, pemimpin trah Mataram harus menghayati dan merefleksikan esensi dan filosofi seni gending yang dia pa­ham

Karena penguasaan ketiga aspek itulah yang akan menentukan kualitas kepemimpin­annya. Untuk melengkapi kualitas kepemimpinan trah Mata­ram, dalam pengantar transliterasi Babad Keraton, J.J. Ras me­nyebutkan bahwa institusi kerajaan Jawa didasarkan atas tiga prinsip yaitu
1.       Kadigdayaan (kesaktian),
2.       Trah rembesing madu (ketu­runan), dan
3.       Wahyu keprabon (anugerah status raja yang diberi oleh Tuhan) (BK,     trans. Ras, 1992: xvii).

Ketiga aspek inilah yang harus dibuktikan oleh setiap trah Mataram jika ingin diakui kualitas kepemimpinannya.
Walaupun sekarang Pangeran Sambernyawa harus berjuang sendirian melawan tiga kekuatan Kasunanan Surakarta Adiningrat, Kasultanan Yokyakarta Adiningrat dan Belanda (VOC). Tapi selama 16 tahun atau 250 pertempuran belum pernah tertangkap. Bahkan Pangeran Sambernyawa untuk menunjukan bahwa beliau sebagai kekuatan perlu diperhitungkan pernah menyerang ke benteng Belanda (VOC) di  Kasultanan Yokyakarta dan menguasainya selama sehari. Selama penyerbuan ini Pangeran Sambernyawa berhasil menewaskan 5 serdadu Belanda dan memenggal kepala patih Joyosudirgo Menunjukan bahwa siapapun selain Tuhan tidak ada yang Pangeran Sambernyawa takuti.

No comments:

Post a Comment